Sabtu, 06 April 2013

tugas


PENGERTIAN
Hukum Perbankan Syariah terdiri dari tiga suku kata, yaitu "Hukum", "Perbankan", "Syariah" dan tidak lepas dari kata "Bank" itu sendiri. Dalam Konteks ini memiliki pengertian masing-masing yakni:

Hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah sekumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi

Perbankan menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Syariah dalam versi Bank Syariah Indonesia adalah aturan perjanjian berdasarkan yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam.
Syariah

Perbankan Syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang  Bank  Syariah  dan  Unit  Usaha  Syariah,  mencakup kelembagaan,  kegiatan  usaha,  serta  cara  dan  proses  dalam  melaksanakan kegiatan usahanya.

Jadi dapat disimpulkan Hukum Perbankan Syariah adalah segala aturan hukum yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang  Bank  Syariah  dan  Unit  Usaha  Syariah,  mencakup kelembagaan,  kegiatan  usaha,  serta  cara  dan  proses  dalam  melaksanakan kegiatan usahanya

Selain itu perlu juga diketahui dua pengertian berikut:
Bank menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah  adalah  badan  usaha yang  menghimpun  dana  dari masyarakat  dalam  bentuk  Simpanan  dan  menyalurkannya kepada masyarakat  dalam  bentuk  kredit  dan/atau  bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.

Bank  Syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah  Bank  yang  menjalankan  kegiatan usahanya  berdasarkan  Prinsip  Syariah  dan  menurut jenisnya  terdiri  atas Bank  Umum  Syariah  dan  Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

DASAR HUKUM BANK SYARIAH
Bank Syariah secara yuridis formal di Indonesia memiliki dasar diantaranya:
             Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
             Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
             Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
             Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
             Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentangPeradilan Agama
             Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentangPeradilan Agama
             Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
VISI, MISI DAN SASARAN PERBANKAN SYARIAH*
Visi Perbankan Syariah
Perbankan Syariah memiliki visi untuk Terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian yang mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil (share-based financing) dan transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong menolong menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat.

Misi Perbankan Syariah
Misi perbankan syariah berdasarkan visi nya adalah:
             melakukan kajian dan penelitian tentang kondisi, potensi serta kebutuhan perbankan syariah secara berkesinambungan;
             mempersiapkan konsep dan melaksanakan pengaturan dan pengawasan berbasis risiko guna menujamin kesinambungan operasional perbankan syariah yang sesuai dengan karakteristiknya;
             mempersiapkan infrastruktur guna peningkatan efesiensi operasional perbankan syariah;
             mendisain kerangka entry dan exit perbankan syariah yang dapat mendukung stabilitas perbankan.
Sasaran Perbankan Syariah
Sasaran pengembangan perbankan syariah sampai tahun 2011 adalah:
             Terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan yang ditandai dengan: (1) tersusunnya norma-norma keuangan syariah yang seragam (standardisasi); (2) terwujudnya mekanisme kerja yang efisien bagi pengawasan prinsip syariah dalam operasional perbankan , baik instrumen maupun badan terkait; (3) rendahnya tingkat keluhan masyarakat dalam hal penerapan prinsip syariah dalam setiap transaksi.
             Diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syariah, yaitu (1) terwujudnya kerangka pengaturn dan pengawasan berbasis risiko yang sesuai dengan karakteristiknya dan didukung o;leh sumber daya insani yang andal; (2) diterapkannya konsep coorporate governance dalam operasional perbankan syariah; (3) diterpkannya kebijakan entry dan exit yang efisien; (4) terwujudnya reatime supervision; (5) terwujudnya self regulatory system.
             Terciptanya sistem perbankan syariah yang kompetitif dan efisien yang ditandai dengan: (1) terciptanya pesaing-pesaing yangmampu bersaing secara global;(2) terwujudnya aliansi strategis yang efektif; (3) terwujudnya mekasime kerjasama dengan lembaga-lembaga pendukung.
             Terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas, yang ditandai dengan: (1) terwujudnya safety net yang merupakan kesatuan dengan konsep operasional perbankan yang berhati-hati; (2) terpenuhinya kebutuhan masyarakat yang menginginkan layanan bank syariah diseluruh Indonesia dengan target pangsa pasar 5% dari total aset perbankan nasional; (3) terwujudnya fungsi perbankan syariah yang kaffah dan dapat melayani seluruh segmen masyarakat; (4) meningkatnya proposal pola pembiayaan secara bagi hasil.
kumpulan makalah
Tempat Yang menyediakan Makalah dan Skripsi Gratis, Dengan Berbagai Macam jurusan dan fakultas, seperti Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Hukum, Ekonomi, Fakultas Ilmu Sosial (Geografi, sosiologi, Dll), Fakultas Ilmu Politik, Teknik (PS Teknik Arsitektur), Fakultas Pertanian, Kehutanan, Perikanan, Fakultas Teknik (PS Teknik Sipil , Tek. Tambang, dan Tek. Kimia), Fakultas Kedokteran, MIPA, Fakultas Syariah, Tarbiyah, Fakultas Tata Busana, Tata boga, bahasa, dan lain sebagainya
Thursday, February 7, 2013
Dasar Hukum Perbankan Syari’ah (Sistem Perundang-Undangan dalam Berbagai Produk)
A.      Perkembangan Dasar Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Konsep negara hukum yang tercantum dalam konstitusi Indonesia[1] memberikan dampak terhadap subjek hukum baik warga negara atau badan hukum, sehingga setiap perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum wajib memiliki dasar hukum, mengikuti hukum yang berlaku, dan tidak melanggar peraturan-peraturan yang ada. Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, jenis dan heirarki Peraturan Perundang-Undangan yang dijadikan sumber hukum di Indonesia, baik materiil maupun formil, adalah sebagai berikut:
a.       Undang-Undang Dasar Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
c.       Peraturan Pemerintah
d.      Peraturan Presiden
e.       Peraturan Daerah[2]
Berdasarkan substansi pasal di atas, perbankan syariah dalam menjalankan aktivitasnya wajib menggunakan heirarki Peraturan Perundang-Undangan sebagai dasar hukum serta beberapa peraturan dari instansi tertentu yang terkait secara langsung terhadap bank syariah. Adapun dasar hukum yang menurut kami menjadi dasar dari perbuatan subyek hukum terutama dalam perbankan syari’ah adalah sebagai berikut:
1.        Pancasila
Pancasila tidak dimasukkan dalam heirarki perundang-undangan. Akan tetapi lebih disebut sebagai norma dasar Negara. Pancasila merupakan landasan filosofis dari setiap produk hukum di Indonesia, sehingga semua substansi peraturan yang berada dibawahnya tidak bertentangan dengan setiap silan yang ada. Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan filosofis bagi institusi-institusi keagamaan termasuk juga bank syariah. Secara umum sila ini memberikan pernyataan bahwa negara melindungi setiap warga negaranya dalam menjalankan aktifitas keagamaannya selama tidak bertantangan dengan hukum dan norma-norma sosial, sebagaimana dijabarkan dalam pasal 29 UUD 1945. Selain itu, jika dihubungkan dengan prinsip Islam, sila ini menunjukkan adanya unsur tauhid atau ke-Esa-an Allah SWT. dan sekaligus menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang beragama.
   Bank syariah dan Bank Pembiayaan Masyarakat yang menjalankan usahanya berdasar pada  prinsip ekonomi Islam (fiqh muamalah) memiliki kesempatan yang luas dalam mengembangkan usahanya dengan adanya perlindungan dari negara, sebab usaha ini dapat dikatagorikan dalam praktik peribadatan umat Islam pada bidang ekonomi. Usaha yang mengedepankan prinsip tolong menolong, kejujuran, antaradin, dan keadilan sebagaimana yang diajarkan dalam Islam.
2.        Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dalam ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum. UUD Tahun 1945 menempati posisi teratas dalam heirarki perundang-undangan sebagaimana yang tedapat pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di atas. Peletakan UUD 1945 pada posisi ini disebabkan kedudukannya yang urgen bagi negara, yaitu sebagai salah satu syarat terbentuknya sebuah negara. Menurut Hans Kalsen Undang-Undang Dasar dikategorikan sebagai Grundnormen[3] atau norma dasar yang menjadi payung bagi peraturan-peraturan yang berada dibawahnya. Aturan dasar pada ranah perekonomian terdapat dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang berbunyi:
(1)     Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2)     Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3)     Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4)     Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5)     Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini  diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan substansi pasal di atas dapat diketahui bahwa sistem perekonomian di  Indonesia mengacu pada beberapa prinsip, antara lain:
a.       Kebersamaan dan kekeluargaan[4]
b.      Kemakmuran rakyat[5]
c.       Keadilan[6]
d.      Berkelanjutan[7]
e.       kemandirian[8]
Bank Syariah sebagai salah satu pelaku perekonomian memiliki tanggung jawab untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip di atas dalam menjalankan aktivitasnya. Menghimpun dana dari masyarakat kemudian menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan untuk meningkatkan kemandirian rakyat dalam berusaha yang berkelanjutan guna  meningingkatkan perekonomian mereka berdasarkan prinsip kekeluargaan.
3.        Undang-Undang No.14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan
Sesungguhnya regulasi perbankan di Indonesia secara sistematis di mulai sejak tahun 1967, yakni dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan. Akan tetapi dalam Undang-Undang ini tidak ditemukan pasal yang mengatur sistem Perbankan  secara spesifik, terutama yang berkenaan dengan perbankan syari’ah, melainkan mengatur sistem perbankan yang berlaku pada masa itu secara komperehensif, yakni berupa perbankan konvensional.
Adapun sistem perbankan konvensional pada masa ini tidak terlepas dari konsep pemberlakuan bunga. Hal ini disebabkan karena konsep pemberlakuan bunga tersebut telah melekat pada definisi kredit yang di sebutkan dalam Pasal 13 huruf (c) Undang-Undang N0.14 Tahun 1967 yang menyatakan:
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank dengan lain pihak dalam hal, mana pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.[9]
            Oleh karena itu pada periode ini, tidak dimungkinkan berdirinya sistem perbankan syari’ah, akan tetapi Undang-Undang inilah yang akan berhubungan dengan kedudukan perbankan syari’ah.
4.        Periode Deregulasi 1 Juni 1983
            Gagasan bank syariah di Indonesia muncul sejak tahun 1980-an oleh beberapa orang praktisi di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis.[10] Di awal tahun 1980-an, sisitem pengendalian tingkat bunga oleh pemerintah mulai mengalami kesulitan. Dan dampak yang muncul adalah:
1.      Bank-bank yang telah didirikan sangat tergantung pada likuiditas Bank Indonesia
2.      Tidak ada persaingan antar bank akibat dari penentuan tingkat bunga oleh pemerintah
Hal tersebut menyebabkan pemerintah kemudian mengeluarkan Deregulasi dibidang perbankan tanggal 1 juni 1983 yang membuka belenggu penetapan tingkat bunga tersebut dengan harapan suatu bank dapat menentukan tingkat bunga sebesar 0%.
Akan tetapi Deregulasi 1 juni 1983 ini tidak menimbulkan suatu dampak yang merupakan penerapan dari sistem perbankan syari’ah melalui perjanjian murni berdasarkan prinsip bagi hasil. Ada beberapa alasan yang menghambat ter-realisasinya Deregulasi tersebut, yakni:
a.       Operasi bank islam yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur
b.      Deregulasi tersebut tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan N0.14 Tahun 1967[11]
c.       Konsep Bank Islam dianggap berkonotasi ideologis, karena berkaitan dengan Negara Islam, sedangkan Indonesia bukanlah Negara Islam.[12]
Dan pada masa itu Bank Islam belum dapat berdiri, karena bank-bank yang telah ada di Indonesia masih beranggapan bahwa sistem bank tanpa bunga bukanlah sebagai bisnis yang dapat menguntungkan. Oleh karena itu digunakanlah badan hukum koperasi sebagai bentuk hukumnya, sebagai wadah penerapan sistem perbankan syari’ah.

5.        Periode Pakto 1988
Pada tahun 1988, pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang bisnis perbankan seluas-luasnya dengan tujuan untuk memobilitasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan. Oleh karena itu dikeluarkanlah Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober (PAKTO) pada tanggal 27 1988 yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain bank-bank yang telah ada.[13]
6.      Undang-Undang Nomor 7  Tahun 1992  Tentang Perbankan
Titik terang berdirinya Bank Syariah dimulai sejak diadakannya lokakarya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dilanjutkan pada Musyawarah Nasional IV MUI pada tahun 1990. Kemudian pada tahun 1991 berdirilah Bank Muamalat Indonesia yang memakai prinsip ekonomi Islam dalam menjalankan aktivitasnya. Secara yuridis keberadaan bank Syariah pertama kali diakui oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pada Pasal 6 huruf (m) menyatakan bahwa :
Bank Umum diperbolehkan untuk menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah
Pasal 13 huruf (c) yang menyatakan bahwa:
Bank perkreditan Rakyat dapat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai  dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;[14]
 Berdasarkan pasal di atas, diketahui bahwa sistem bagi hasil yang ada dalam konsep ekonomi Islam sudah mulai diperhatikan, namun nama bank syariah sendiri belum diatur dalam undang-undang ini.
7.        Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum
Peraturan Pemerintah  Nomor 70 Tahun 1992  adalah peraturan operasional dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Di dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah ini disebutkan mengenai bank bagi hasil, yakni:
Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerja harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
Tidak ada pasal lain dalam peraturan pemerintah ini yang mengatur mengenai bank yang menjalankan prinsip bagi hasil dalam aktivitasnya.

8.        Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat
Sama halnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum, hanya ada satu pasal yang mengatur tentang bank perkreditan yang menjalankan prinsip bagi hasil yaitu Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi:
Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil, harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerjanya.[15]
9.        Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 telah secara spesifik mengatur mengenai bank berdasarkan prinsip bagi hasil, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:
Pasal 1
(1)          Bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
(2)          Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
Pada dua Peraturan Pemerintah sebelumnya tidak dijelaskan dasar hukum dari prinsip bagi hasil yang dimaksud di dalamnya, baru kemudian pada Pasal 2  Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 dijelaskan bahwasannya dasar dari prinsip bagi hasil tersebut adalah Syari'at (hukum) Islam.[16]
Kejanggalan yang terjadi pada pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 adalah dimana bank menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Hal ini bertentangan dengan logika bahwa orang yang meminjamkan atau menyediakan dana memberikan imbalan kepada siapapun yang meminjam dana atau menggunakan dana darinya.[17] Sedangkan munculnya Dewan Pengawas Syariah dalam bank yang menjalankan prinsip bagi hasil beserta siapa yang berhak membentuknya dan apa saja fungsi dewan pengawas tersebut, disebutkan dalam:
Pasal 5
(1)          Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syari'at yang mempunyai tugas melakukan pengawasan atas produk perbankan dalam menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari'at.
(2)          Pembentukan Dewan Pengawas Syari'at diiakukan oleh Bank yang bersangkutan berdasarkan hasil konsultasi dengan lembaga yang menjadi wadah para ulama Indonesia.
(3)          Dalam melaksanakan tugasnya Dewan Pengawas Syariat berkonsultasi dengan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Dan larangan untuk menjalankan dual-banking system yang menjadikan kerancuan atau tidak jelasnya sistem yang digunakan, sebagaimana diatur pada pasal 6 dan 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992:
Pasal 6
(1)          Bank Umum atau bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil
(2)          Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.[18]
Pasal 7
(1)          Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang telah melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini tetap dapat melakukan kegiatan usahanya, dan wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
(2)          Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh penyesuaian izin usaha.
10.    Undang-undang Nomor  10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Pada tahun 1998, undang-undang nomor Nomor 7  Tahun 1992  dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor  10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Perubahan-perubahan yang ada dalam substansi undang-undang perbankan memberikan peluang yang lebih besar kepada bank syariah untuk berkembang. Adapun tujuan dikembangnya sistem perbankan syariah antara lain:
1.      Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga
2.      Membuka peluang bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan (mutual investor relationship)
3.      Meniadakan pembebana bunga yang berkesinambungan dan pembiayaan usaha berbasis moral.[19]
Undang-undang ini memberikan penegasan terhadap konsep perbankan Islam dengan mengubah penyebutan “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil” pada Undang-Undang  Nomor 7 Tahun 1992 menjadi “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Penyebutan ini terdapat pada:
Pasal 1 ayat (3)
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
Pasal 1 ayat (4)
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
Pasal 1 ayat (12)


Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil;
Pasal 1 ayat (13)
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi  hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina);
Selain kejelasan prinsip, undang-undang ini juga telah membahas cara penyeluran dana yang sesuai dengan pokok-pokok ekonomi Islam seperti mudharabah, ijarah, murabahah, musyarakah, atau ijarah wa iqtina.
Pengaturan lebih lanjut terhadap bank Syari’ah ini ditindak lanjuti oleh BI dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Direksi BI Pada tanggal 12 Mei 1999 yakni:
1.      Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;
2.      Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
3.      Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.[20]
Beberapa Surat Keputusan Direktur BI tersebut semakin memantapkan keberadaan bank syari’ah. Beberapa produk syar’i siap dioperasionalisakasn dengan payung hukum yang jelas. Bank-bank konvensional dapat membuka cabang syari’ah dengan leluasa, selama memenuhi persyaratan. Demikian juga, jika bank syari’ah akan dipraktekkan dengan bentuk BPR, maka keluarnya Surat Keputusan tersebut merupakan payung hukumnya.
Kemudian untuk mengatur kelancaran lintas pembayaran antar bank serta pelaksanaan Pasar Uang antar bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah (PUAS), telah dikeluarkan peraturan sebagai berikut:
1.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/4/PBI/2000 tanggal Februari 2000 tentang Kliring bagi Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah Bank Umum Konvensional.
2.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Giro Wajib Minimum (GWM), yang kemudian            khusus tentang Perbankan Syari’ah diatur lebih lanjut oleh PBI No.6/21/PBI/2004 tentang  Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarakan Prinsip Syari’ah.
3.      Peraturan Bank Indonesia No.2/8/2000 Tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar Uang antar bank berdasarkan Prinsip Syari’ah.
4.      Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).[21]
5.      Peraturan Bank Indonesia No. 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Islam (FPJPS).[22]
Munculnya peraturan-peratuan di atas, kemudian ditinjaklanjuti oleh tugas dan wewenang BI dalam menegakkan aturan di atas, dengan dimunculkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dengan demikian, UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya.
11.    Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang perbankan syariah adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008. Undang-undang ini muncul setelah perkembangan perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Pada bab I pasal 1 yang berisi tentang Ketentuan Umum undang-undang ini telah membedakan secara jelas antara bank kovensional beserta jenis-jenisnya dengan bank syariah beserta jenis-jenisnya pula. Perbedaan penyebutan pun telah dibedakan sebagaimana diatur dalam pasal 1 poin ke-6 yang menyebut “Bank Perkreditan Rakyat” sedangkan poin ke-9 menyebutkan dengan “Bank Pembiayaan Rakyat”.
Usaha Bank Syariah dalam menjalankan fungsinya adalah menghimpun dana dari nasabah dan menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad-akad yang terdapat dalam ekonomi Islam. Seperti mudharabah, wadi’ah, masyarakah, murabahah, atau akad-akad lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
12.    Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Selain dasar hukum yang telah disebutkan di atas, landasan hukum Islam yang dimaksud dalam perbankan syariah adalah fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu yang berwenang sebagaimana yang diatur pada pasal 1 poin ke-12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008:
Prinsip  Syariah  adalah  prinsip  hukum  Islam  dalam kegiatan  perbankan  berdasarkan  fatwa  yang  dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. 
Meskipun tidak disebutkan secara langsung, undang-undang memberikan Dewan Syariah Nasional MUI sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa sekaligus berwenang merekomendasikan Dewan Pengawas Syariah yang ditempatkan pada bank-bank syariah dan unit usaha syariah.  Dan fatwa MUI belum memiliki kekuatan hukum yang cukup jika tidak dikonversi ke dalam peraturan yang termasuk dalam heirarki perundang-undangan. Akan tetapi fatwa tersebut termasuk dalam doktrin hukum yang bisa dipakai jika pencari fatwa sepakat dengan pendapat mufti.
MUI sebagai salah satu lembaga yang dipercaya oleh Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah unruk mengeluarkan acuan berupa fatwa, telah mengeluarkan kurang lebih 43 fatwa terkait dengan perbankan syariah. Di antaranya adalah fatwa tentang giro dengan menggunakan sistem wadhi’ah, yaitu pada fatwa DSN No.01/DSN-MUI/IV/2000. Pada fatwa ini, giro yang berdasarkan Wadhi’ah ditentukan bahwa:
1.      Dana yang disimpan pada bank adalah bersifat titipan
2.      Titipan (dana) ini bias diambil kapan saja (on call)
3.      Tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian yang bersifat sukarela dari pihak bank[23]
Meskipun demikian, kedudukan fatwa lebih cocok jika dikategorikan sebagai doktrin hukum yang tidak terlalu kuat jika dijadikan sumber rujukan untuk membuat suatu hukum apabila tidak dikonversi menjadi salah satu jenis produk hukum yang terdapat dalam heirarki perundang-undangan.
13.         Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa beberapa perubahan yang signifikan terhadap kedudukan dan eksistensi peradilan agama di Indonesia. Kewenangan absolut dari peradilan agama mengalami perluasan, yakni pengadilan agama berwenang menangani permasalahan ekonomi syariah yang meliputi perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, dan beberapa masalah ekonomi Islam lainnya. 
Perkembangan ini menuntut Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang terkait dengan permasalahan ekonomi Islam. Pada tanggal 10 September 2008 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. PERMA ini adalah sarana memperlancar dalam pemeriksaan dan penyelesasian sengketa ekonomi syariah sekaligus pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi berdasarkan prinsip Islam, sebagaimana terdapat di dalam konsiderannya.Penyusunan KOHES ini tidak bisa terlepas dari sejumlah rujukan baik dari beberapa kitab fiqh, fatwa-fatwa DSN MUI, dan peraturan BI tentang Perbankan Syariah.
Beberapa peraturan yang dapat dijadikan acuan secara khusus dalam pelaksanaan perekonomian Islam khususnya perbankan syariah terdapat pada Buku II KOHES
a.              Mudharabah (Pasal 231 sampai pasal 254)
Peranan bank Syariah di dalam KOHES hanya sebagai perantara antara pemilik modal (shahib al-mal) dengan pelaku usaha (mudharib). Hal ini disebankan tidak adanya klausul yang menyatakan bahwa bank syariah memiliki wewenang sebagai pelaku usaha. Atau dengan kata lain bank berfungsi sebagai mediator dalam terjadinaya akad mudharabah, memeriksa kelayakan dari penerima modal, dan melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha. Permasalahan ini sejalan dengan tugas dari bank syariah, yaitu menghimpun dana dan menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
b.             Wadhi’ah (Pasal 414 sampal pasal 434)
Dalam permasalahan wadhi’ah, bank syariah berfungsi sebagai sarana atau tempat dari shahib al-mal untuk menitipkan hartanya. Pada pasal 418 pasal (1) KOHES dinyatakan bahwa terdapat dua akad wadh’iah. Pertama, wadhi’ah amanah dimana penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang titipan kecuali ada ijin dari penitip. Kedua, wadhi’ah dhammanah dimana penerima titipan diperkenankan menggunakan barang titipan tanpa seijin penitip. Apabila akad yang kedua yang digunakan oleh bank syariah dalam melakukan penghimpunan dana masyarakat, maka modal yang terhimpun dapat dikembangkan untuk melakukan pembiayaan operaasional bank syariah. Pasal 419 menyatakan bahwa dalam akad wadhi’ah dhammanah penerima titipan boleh memberikan imbalan secara sukarela kepada penitip. Menurut penulis, imbalan yang dimaksud adalah bentuk ungkapan terima kasih, bentuk komitmen, dan memperkuat kepercayaan masyarakat kepada bank syariah. Namun, adanya imbalan ini tidak bisa dipersyaratkan pada saat akad.
B.       Penerapan Akad pada Perbankan Syari’ah
Akad adalah suatu pertalian antara ijab dan Kabul yang dibenarkan oleh syara’yang menimbulkan akibat hokum terhadap objeknya. Sedangkan Ijab adalah suatu pernyataan dari seseorang yakni pihak pertama untuk menawarkan sesuatu. Dan Kabul adalah suatu pernyataan dari seseorang yakni pihak kedua untuk menerima atau mengabulkan tawaran dari pihak pertama.[24]
Dalam perbankan syari’ah akad yang dilakukan adalah berdasarkan hukum islam. Ada beberapa asas al-‘uqud yang harus dilindungi dan dijamin dalam wadah Undang-Undang Perbankan Syari’ah. Adapun asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Aasas Ridha’iyyah (asas rela sama rela)[25]
2.      Asas Manfaat[26]
3.      Asas Keadilan,[27] dan;
4.      Asas Saling Menguntungkan[28]
Jika di dalam hukum islam disebutkan bahwasannya rukun dan syarat dari perikatan islam adalah harus adanya:
c.       Al-Aqidain (Subyek Perikatan)
d.      Mahallul ‘Aqd (Obyek Perikatan)
e.       Maudhu’ul ‘Aqd (Tujuan Perikatan)
f.       Sighat al-‘Aqd
Maka, kegiatan usaha pada perbankan syari’ah harus berlandaskan rukun dan syarat yang telah disebutkan di atas, meskipun pada dasarnya kegiatan usaha pada perbankan syari’ah adalah tunduk pada Undang-Undang No.7 Tahun 1992, Undang-Undang No.10 Tahun 1998, ataupun pada Undang-Undang No.21 Tahun 2008.
Dalam kegiatan Wadhi’ah[29] Perbankan Syari’ah menggunakan akad Wadhi’ah Yad Dhamanah[30] yang mana hasil keuntungan dari pengelolaan dana tersebut adalah milik bank, namun kerugian yang dialami harus ditanggung oleh bank, karena nasabah memperoleh jaminan perlindungan atas dananya.[31] Dasar hukum akad Wadhi’ah di dalam hukum islam terdapat dalam QS: al-Baqarah: 283 dan Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani bahwa:”Dari Ibnu Umar berkata bahwasannya Rasulullah SAW. Telah bersabda “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci”. Dan akad Wadhi’ah Yad Dhamanah ini diaplikasikan dalam tabungan dan giro.
B.1       WADI’AH DHAMANAH DAN QARDH
Pada sub pembahasan ini akan diulas tentang wadi’ah dan qaradh.
1. Wadi’ah
a.       Pengertian Wadi`ah
Menurut bahasa adalah berasal dari akar kata Wada`a yang berarti meninggalkan atau titip.  Sesuatu yang dititipkan baik harta, uang maupun pesan atau amanah. Jadi wadi`ah adalah titipan atau simpanan. Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki[32]. Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang atau uang.
b.      Rukun Wadi’ah
         Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
         Uang, sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.
         Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
         Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga mempunyai nilai uang)
c.       Wadi`Ah Yad Adh-Dhamanah
Wadi`Ah Yad Adh-Dhamanah adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang/uang, dapat memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut. Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:
“Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta.   Maka diberinya unta qurban (berumur sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memrintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar dan berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R. Muslim) [33]
2. Qardh
a.   Pengertian Qardh
Qardh menurut bahasa berarti pinjaman atau hutang. Sedangkan menurut istilah syara ialah menyerahkan harta milik, baik berupa uang, emas, atau bentuk yang lain kepada seseorang sebagai modal usaha kerja dengan harapan akan mendapatkan keuntungan, dan keuntungan tersebut dibagi dua menurut perjanjian ketika akad [34].
b.   Rukun Qardh
         Modal pokok
         Memiliki modal
         Pekerja
         Lapangan kerja
         Laba
         Ijab dan qabul
3. Hubungan Wadi’ah dengan Qardh
Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya.  Keduanya sama-sama akad tabarru yang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman). Jadi mirip seperti yang dilakukan Zubair bin Awwam ketika menerima titipan uang di zaman Rasulullah SAW [35].
Dalam akad Mudharabah[36], akad ini diaplikasikan dalam deposito dan tabungan. Dalam hal ini antara bank dan nasabah penyimpan, telah melakukan kesepkatan di awal akad mengenai nisbah bagi hasil. Dan dana nasabah yang disimpan di bank, akan dikelola oleh bank untuk mendapatkan keuntungan. Dan hasil pengelolaan tersebut akan dibagi antara bank dan nasabah. Dan dasar hukum islam dari pelaksanaan Murabahah tersebut, terdapat dalam QS: al-Baqarah: 275 dan Hadits riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “ Sesungguhnya jual-beli itu harus dilakukan suka sama suka.”[37]
B.2        REVENUE SHARING DAN PRIVITE SHARING
Dalam system bagi hasil terdapat dua metode yang dapat diterapkan yaitu;
a.      Revenue sharing
Revenue sharing adalah kegiatan bagi hasil dengan membagikan laba kotor sebagai penerapannya.
b.      Profit sharing
Profit sharing adalah kegiatan bagi hasil dengan membagikan laba bersih sebagai penerapannya.
Dalam fikih klasik disebutkan bahwa dalam proses bagi hasil , yang  dibagikan adalah keuntungan atau laba (pendapatan dikurangi biaya), tetapi dalam praktik perbankan syariahnya yang dibagikan adalah Revenue (laba kotor) karena sulit untuk menemukan kesepakatan tentang biaya-biaya yang dikeluarkan nasabah. Sepintas seakan-akan praktik bagi hasil yang diterapkan oleh perbankan syariah ini menyalahi aturan fikih klasik, namun hal ini dilakukan tidak lain hanya untuk memudahkan proses bagi hasil tanpa berbelit-belit, sehingga kedua pihak (bank dan nasabah) dapat diuntungkan dengan segera dan laba dapat dengan cepat di bagikan pada para nasabah tanpa harus menunggu proses yang lama [38].

[1] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun  1945
[2] Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53
[3] Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum (Jakarta:Sinar Grafika, 2008), Hlm. 100
[4]Dalam menjalankan usaha membangun perekonomian negara dibutuhkan kerjasama dari semua elemen masyarakat dan berpegang teguh pada etika bisnis yang baik sehingga suasana kekeluargaan dapat terbentuk dengan baik yang pada akhirnya diharapkan mampu mengatasi kesenjangan-kesenjangan atau konflik-konflik yang muncul akibat kegiatan perekonomian.
[5] Perekonomian yang diusahakan oleh semua pihak diharapkan mampu membawa rakyat pada tingkatan hidup yang lebih baik. Prinsip ini menuntut para pelaku perekonomian menjalankan usahanya untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan bukan hanya meningkatkan kesejahteraan pribadi. Beberapa dampak yang diharapkan muncul ketika kondisi perekonomian mengalami kemajuan adalah berkurangnya angka kemiskinan, keterbelakangan, buta huruf dan atau putus sekolah, dan pengangguran.
[6] Usaha perekonomian diharapkan memberikan keadilan yang proporsional terhadap para pelaku atau orang-orang yang terkait di dalamnya.
[7] Usaha perekonomian diharapkan memberikan keadilan yang proporsional terhadap para pelaku atau orang-orang yang terkait di dalamnya. Selain meningkatkan kesejahteraan, usaha yang dibentuk oleh para pelaku perekonomian juga diproyeksikan mampu bertahan dan berkembang ditengah fluktuasi perekonomian nasional maupun global.
[8] Usaha perekonomian diharapkan mampu membentuk kemandirian dari masyarakat untuk membentuk usaha-usaha baru guna meningkatkan taraf hidup.
[9] Wirdyaningsih, “Bank dan Asuransi Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2005), Hal: 58
[10] Umar Farouk, “Sejarah Hukum Perbankan Syari'ah di Indonesia”, www.inlawnesia.net, diakses tanggal 28 februari 2010
[11] Yang dimaksud dengan tidak sejalan dalam hal ini adalah Deregulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pada 1 Juni 1983 yang mana pemerintah ingin membuka belenggu penetapan tingkat bunga bank yang secara jelas disebutkan dalam UU N0.14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan Pasal 13 huruf (c), dengan tujuan dengan dibukanya belenggu penetapan tingkat bunga dalam suatu bank, maka dapat dimungkinkan suatu bank bisa mementapkan tingkat bunga sebesar 0% dengan kata lain tidak ada bunga dalam suatu bank, melainkan sistem perbankan syari’ah dengan prinsip bagi hasil-lah yang digunakan. Pengoperasionalan bank pada masa itu (masa diberlakukannya UU No.14 Tahun 1967) yang digunakan adalah sistem kredit yang mana pengertian kridit sendiri tidak terlepas dari penetapan jumlah bunga dalam suatu bank. Maka disinilah letak ketidak sesuaian antara UU No.14 Tahun 1967 yang dianggap lebih berimplikasi pada perbankan konvensional dengan Deregulasi 1 Juni yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dianggap lebih berimplikasi pada system perbankan syari’ah.
[12] Wirdyaningsih, Op.Cit, Hal: 60
[13] Ibid., Hal: 61
[14] Gemala Dewi, “Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Peraqnsurasian Syari’ah di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2007), Hal: 169
[15] Ibid., Hal: 171
[16] Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992
(1)  Prinsip bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil berdasarkan Syari'at yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam:
a.     menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya;
b.     menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja;
c.   menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh bank dengan prinsip bagi hasil.
(2) Pengertian prinsip bagi hasil dalam penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, termasuk pula kegiatan usaha jual beli.
[17] Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992
Penetapan besarnya bagi hasil antara bank berdasarkan prinsip bagi hasil dengan nasabahnya didasarkan pada kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian tertulis antara kedua belah pihak.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992
Dalam menyediakan dana bagi nasabah, bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan.
[18] Wirdyaningsih, Op.Cit, Hal: 63
[19] Ibid., Hlm: 65
[20] Ibid., Hlm: 67
[21] yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadi’ah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional.
[22] Ibid., Hlm: 69
[23] Ibid,. Hal: 129
[24] Ibid,. Hal: 114-115
[25] Asas ridha’iyah adalah suatu asas yang dijadikan dasr dalam  suatu transaksi yang dilakukan oleh perbankan dengan nasabah dalam bentuka apapun yang mana asas tersebut berupa prinsip rela sama rela. Asas ini menekankan adanya kesempatan yanmg sama bagi para pihak yang melakukan suatu transaksi. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu kejelasan dalam pernyataan kehendak, adanya kesesuaian antara penawaran dan penerimaan dan adanya komunikasi antara pihak yang bertransaksi. Misalnya, seseorang yang melakukan peminjaman uang di suatu bank dengan jumlah Rp. 1.000.000. Dalam pengembaliannya peminjam dikenakan bunga 25% dari jumlah uang yang dipinjam dengan jangka waktu lima bulan, padahal dalam awal transaksi, peminjam tidak akan dikenakan bunga. Oleh karena hal tersebut peminjam merasa dirugikan oleh pihak bank. Maka ketidak relaan dari peminjam inilah yang tidak sesuai dengan asas ridha’iyah dalam suatu transaksi.
[26] Asas manfaat adalah asas dalam akad yang dilakukan oleh bank dengan nasabah terkait dengan objek yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Dalam hal ini bentuk transaksi yang dilakukan adalah atas dasar pertimbangkan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat. Misalnya, dalam praktek jual beli seseorang tidak diperbolehkan untuk menjual ganja atau narkotika dengan alasan benda tersebut lebih banyak mengandung kemadharatan daripada unsure manfaatnya.
[27] Asas keadilan berarti segala bentuk transaksi yang mengandung unsur adil tidak mengandung unsur penindasan. Misalnya, Utang piutang dengan tanggungan barang, yang mana jika dalam jangka waktu tertentu utang tidak dibayar, maka barang yang ditanggungkan tadi menjadi milik piutang, padahal barang yang ditanggungkan tersebut nilainya lebih tinggi dari pada utang yang harus dibayar. Maka dalam contoh tersebut tidkalah ada unsure keadilan didalamnya. Dan bias dikatakan adil jika barang yang ditanggungkan sama nilainya dengan utang yang harus dibayar.
[28] Dalam hal ini, akad yang dilakukan harus saling menguntungkan semua pihak yang berakad. Misalnya transaksi jual beli yang dilakukan oleh seorang penjual jeruk dengan pembelinya yang mana harga yang ditawarkan oleh penjual dianggap sesuai oleh si pembeli. Dengan demikian maka tidak ada rasa kerugian diantara keduanya, akan tetapi sebaliknya mereka saling mendapat keuntungan.
[29] Wadhi’ah adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang (muwaddi’) dengan pihak yang diberi kepercayaan (mustawda’) dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan uang/barang.
[30] Wadhi’ah Yad Dhamanah adalah penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilim barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan.
[31] Ibid,. Hal: 127
[32] Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktek. (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal 35
[33] Ibid, hal: 54
[34] http://www.koperasisyariah.com/definisi-wadiah/. (Diakses pada 1 april 2010 M)
[35] Muhammad Firdaus, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syari’ah Kontemporer, (Jakrta: Renaisan, 2005)
[36] Mudharabah adalah akad antara pihak pemilik modal denga pengelola untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan.
[37] Ibid,. Hal: 130
[38] http://tiarhidayat.wordpress.com/2010/01/24/muamalat/0. (Diakses pada 1 april 2010 M)
Posted by aga amalsyah my son at 2:18 AM
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook


Pengertian dan Jenis Bank. Pengertian Bank secara sederhana dapat diartikan sebagai “Lembaga keuangan yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa bank lainnya”.

Sedangkan pengertian lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak dibidang keuangan dimana kegiatannya baik hanya menghimpun dana, atau hanya menyalurkan dana atau kedua-duanya menghimpun dan menyalurkan dana.

Kemudian pengertian bank menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang perbankan adalah  :

“Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

Jadi dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan perbankan meliputi tiga kegiatan utama, yaitu :

1. Menghimpun dana

2. Menyalurkan dana, dan

3. Memberikan jasa bank lainnya.

Jasa-jasa perbankan lainnya antara lain sebagai berikut :

a. Jasa setoran seperti setoran air, listrik, telepon dan uang kuliah

b. Jasa pembayaran seperti pembayaran gaji, pensiun atau hadiah

c. Jasa pengiriman uang (trasfer)

d. Jasa penagihan (inkaso)

e. Jasa kliring (clearing)

f. Jasa penjualan mata uang asing (valas)

g. Jasa penyimpanan dokumen (Safe Deposit Box)

h. Jasa cek wisata (Traveller cheque)

i. Jasa kartu kredit (Bank Card)

k. Jasa-jasa yang ada dipasar modal seperti pejamin emisi dan pedagang efek

l. Jasa letter of credit (L/C)

m. Jasa bank garansi dan referensi bank

n. Serta jasa bank lainnya.

Banyaknya jenis jasa yang ditawarkan sangat tergantung dari kemampuan bank masing-masing. Semakin mampu bank tersebut, semakin banyak ragam produk yang ditawarkan. Kemampuan bank dapat dilihat dari segi permodalan, manajemen serta fasilitas sarana dan prasarana yang dimilikinya.

 Jenis-Jenis Bank

1. Dilihat dari segi fungsinya

Dalam UU Pokok Perbankan Nomor 14 Tahun 1967 jenis perbankan menurut fungsinya terdiri dari: Bank umum, bank pembangunan, bank tabungan, bank pasar, bank desa, lumbung desa, bank pegawai, dan bank jenis lainnya. Kemudian menurut UUperbankan Nomor 7 Tahun 1992 dan ditegaskan lagi dengan keluarnya UU RI Nomor 10 Tahun1998, maka jenis perbankan terdiri dari dua jenis bank yaitu:

a. Bank umum (menurut UU Nomor 10 Tahun 1998 adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasakan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas penbayaran).

b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menurut UU Bomor 10 Tahun 1998 adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayran.

c. Di samping kedua jenis bank diatas dalam praktiknya masih terdapat satu lagi jenis bank yang ada di Indonesia yaitu Bank Sentral. Fungsi bank sentral dipegang olen Bank Indonesia (BI). Fungsinya diatur oleh UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Tujuan BI seperti tertuang dalam UU RI Nomor 23 Tahun 1999 bab 111 pasal 7 adalah mencapai dan memelihara kestabilan rupiah. Dengan kestabilan nilai rupiah, akan sangat banyak manfaat akan diperoleh terutama untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Agar kestabilan nilai rupiah dapat tercapai dan terpelihara, maka Bank Indonesia memiliki tugas antara lain  :

• Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,

• Mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran,

• Mengatur dan mengawasi bank.

2. Di lihat dari segi kepemilikannya

Maksudnya siapa saja yang  memilki bank tersebut kepemilikannya dapat dilihat dari akta pendirian dan penguasaan saham yang dimilki bank yang bersangkutan. Jenis bank dilihat dari segi kepemilikan adalah bank milik pemerintah, bank milik swasta nasional, bank milik asing, bank milik campuran.

3. Di lihat dari segi status

Kedudukan atau status ini menunjukkan ukuran kemampuan bank dalam melayani masyarakat baik dari segi jumlah produk, modal maupun kualitas pelayanannya. Tapi ini memerlukan penilaian dengan criteria tertentu. Dan biasanya khusus untuk bank umum. Dalam prakteknya jenis bank dilihat dari status dibagi  dua macam, yaitu bank devisa dan bank non devisa.

4. Di lihat dari segi cara menentukan harga.

Bagi bank yang berdasarkan prinsip konvensional, keuntungan utama diperoleh dari selisih bunga simpanan yang diberikan kepada penyimpan atau kredit yang disalurkan. Keuntungan dari selisih bunga tersebut di kenal dengan istilah spread based. Jika suatu bank mengalami suatu kerugian dari selisih bunga, dimana suku bunga simpanan lebih besar dari suku bunga kredit, istilah ini dikenal dengan nama negative spread.dan system pengenaan biaya dikenal dengan istilah fee based.

Bagi bank syariah keuntungan bukan diperoleh dari bunga tapi dengan bagi hasil yang disesuaikan dengan prinsip syariah yang berdasarkan hukum islam, sebagai berikut :

a. Mudharabah yaitu pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil.

b. Musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal

c. Murabahah yaitu prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan.

d. Ijarah yaitu pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan.

e. Ijarah wa iqtina yaitu pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang di sewa dari pihak bank oleh pihak lain.

Anda Baru Saja Mengcopy Artikel ini, Sertakan Sumber Berikut: http://menarailmuku.blogspot.com/2013/01/pengertian-dan-jenis-bank.html#ixzz2PkNdwYU8


Perbandingan Antara Bank Syariah Dan Bank Konvensional
Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional disajikan dalam tabel berikut.[9]

Bank Syariah      Bank Konvesional
1.    Melakukan investasi-investasi yang halal saja.            1.     Investasi yang halal dan haram.
2.    Berdasarkan prinsip bagi hasil
      Besarnya disepakati pada waktu akad dengan berpedoman kepada kemungkinan untung rugi.
      Besar rasio didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
      Rasio tidak berubah selama akad masih berlaku
      Kerugian ditanggung bersama
      Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan
      Eksistensi tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.  2.     Memakai perangkat bunga
      Besarnya disepakati pada waktu akad dengan asumsi akan selalu untung
      Besarny presentase didasarkan pada jumlah modal yang dipinjamkan
      Bunga dapat mengambang dan besarnya naik turun
      Pembayaran bunga besarnya tetap tanpa pertimbangan untung rugi
      Jumlah bunga tidak meningkat sekalipun keuntungan meningkat
      Eksistensi bunga diragukan
3.    Berorientasi pada keuntungan (profit oriented) dan kemakmuran dan kebahagian dunia akhirat        3.     Profit oriented

4.    Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.       4.     Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur.
5.    Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah
                5.     Tidak terdapat dewan sejenis

Keunggulan operasional bank syariah
Kegiatan usaha dilakukan secara profesional, namun tetap realistis, seraya mengakui keterbatasan manusia yang tidak selalu dapat memperoleh hasil sebagaimana yang diinginkan.
             Sama halnya dengan bank konvensional, prinsip prudential maupun profesionalitas juga diterapkan dalam perbankan syari’ah.
             Bank syari’ah tidak memastikan besaran return dalam menjalankan usahanya, dan karenanya tidak mengenal “bunga” sebagai parameter balas jasa finansial.
             Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa “....... Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati.......”. Q.S Luqman (31): 34

Bagi hasil dalam perbankan syari’ah dilakukan dengan cara menetapkan porsi pembagian keuntungan (nisbah), baik antar bank dengan nasabah pemilik dana (liabilities) maupun dengan nasabah pengguna dana (assets). Sedangkan angka nominal yang akan diperoleh oleh para pihak akan sangat tergantung pada realisasi hasil usaha.

Berbeda dengan bank konvensional, pendekatan usaha yang dilakukan perbankan syari’ah adalah pada sisi assets terlebih dahulu, baru kemudian sisi liabilities. Artinya, tingkat produktivitas assets akan sangan menentukan return bagi para pemilik dana yang pada gilirannya mempengaruhi pertumbuhan sisi liabilities.

Bank syari’ah tidak akan pernah mengalami negative spread. Kerugian hanya akan terjadi bila pendapatan dari transaksi bagi hasil dan jual-beli maupun pendapatan lainnya, lebih kecil dibandingkan dengan biaya operasional bank.


Kendala bank syariah
Pertama, ketersediaan produk dan standarisasi produk perbankan syariah. Hal ini dikarenakan selama ini masih banyak bank syariah yang belum menjalankan bisnisnya sesuai prinsip syariah. Standardisasi ini diperlukan dengan alasan industri perbankan syariah memiliki perbedaan dengan bank konvensional. Apalagi, produk bank syariah tidak hanya diperuntukkan bagi nasabah muslim, melainkan juga nasabah nonmuslim.
Kedua, tingkat pemahaman (awareness) produk bank syariah. Hingga saat ini, sangat sedikit masyarakat yang tahu tentang produk-produk perbankan syariah dan istilah-istilah di perbankan syariah. "Hanya sekitar 30 persen dari sumber daya yang direkrut mengetahui istilah perbankan syariah serta tingkat awareness-nya," tambahnya.
Selain itu, masalah ketiga industri perbankan syariah adalah sumber daya manusia (SDM). Masalah yang terjadi adalah pihak perbankan kesulitan untuk mencari SDM perbankan syariah yang berkompeten dan mumpuni. "Kami justru banyak mengambil SDM untuk perbankan syariah dari perbankan konvensional dan SDM-SDM yang potensial. Sangat sedikit SDM yang diambil atau lulusan perguruan tinggi syariah," katanya.
Menurut Achmad kecenderungan mengambil SDM dari luar perguruan tinggi syariah karena SDM di perbankan syariah biasanya justru mudah diberikan pengetahuan tentang perbankan syariah.
Dari sisi karir, Achmad juga mengiming-imingi kemudahan untuk bersaing dibandingkan dengan karir di perbankan konvensional. "Rata-rata motivasi mereka bekerja adalah mencari karir dan pendapatan. Secara karir, SDM perbankan syariah tidak kalah dengan perbankan syariah, karena orangnya minim sehingga mudah untuk naik jenjang karir. Beda dengan perbankan konvensional yang sudah jenuh," jelasnya.
Sekadar catatan, Bank Indonesia memproyeksi industri perbankan syariah bisa memiliki pangsa pasar sebesar 15 persen pada 10 tahun mendatang (atau sekitar tahun 2022) apabila bisa mengalami pertumbuhan yang stabil seperti beberapa tahun terakhir.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah yang saat ini menjadi anggota Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan dengan rerata 40,5 persen per tahun, dalam setengah dasawarsa terakhir. Pertumbuhan tersebut dua kali lebih cepat dibandingkan dengan perbankan konvensional sehingga pangsa pasarnya terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Namun saat ini pangsa pasarnya (berdasarkan aset) masih sekitar 4 persen.
Dari beberapa cara penyusunan data, penulis mempunyai beberapa yang perlu diperhatikan dari kendala-kendala perkembangan Bank Syariah, antara lain :
1.             Permodalan
Permasalahan pokok yang senantiasa dihadapi dalam pendirian suatu usaha adalah permodalan. Setiap ide ataupun rencana untuk mendirikan Bank Syari’ah sering tidak dapat terwujud sebagai akibat tidak adanya modal yang cukup untuk pendirian Bank Syari’ah tersebut, walaupun dari sisi niat ataupun “ghiroh” para pendiri relatif sangat kuat.
2.             Problem Hukum
Kendala hukum yang dialami perbankan syariah di Indonesia ialah, Pengadilan Negeri tidak menggunakan syari’ah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No. 7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Pengadilan Agama tidak dapat memeriksa perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, kepentingan untuk membentuk lembaga permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah sudah sangat mendesak, maka didirikan suatu lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syari’ah.
3.             Rendahnya Sosialisasi Perbankan Syari’ah
Isu sentral yang sering kita dengar adalah bahwa pemahaman masyarakat mengenai sistem, prinsip pelayanan dan produk perbankan yang berdasarkan syari’ah Islam sebagian besar masih kurang tepat. Hal demikian bukan hanya terdapat pada masyarakat awam, tetapi juga terjadi pada diri Ulama, Kyai dan Para tokoh masyarakat lainnya. Meskipun sistem ekonomi Islam telah jelas dan mudah dipahami, yaitu melarang menggandakan uang secara tidak produktif dan konsentrasi kekayaan pada satu pihak dan secara tidak adil. Namun secara praktis bentuk produk dan pelayanan jasa, prinsip-prinsip dasar hubungan antara bank dengan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam bank Syari’ah masih terasa awam dan belum dipahami secara benar (Bank Indonesia, Oktober 2001, pp. 6).
Kesan umum yang ditangkap oleh masyarakat tentang bank Syari’ah: 1) bank Syari’ah identik dengan bank dengan sistem bagi hasil, 2) Bank Syari’ah adalah bank yang Islami, sebagian masyarakat ada yang menyatakan bahwa bank Syari’ah secara eksklusif hanya khusus untuk umat Islam.
Menurut penulis bahwa kegiatan sosialisasi perbankan Syari’ah amat diperlukan dalam rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perbankan Syari’ah. Hal ini dapat dilakukan secara terus-menerus dengan cara tatap muka dengan para bankir, alim ulama, pemuka masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum. Di masa mendatang bentuk kegiatan sosialisasi diharapkan dapat lebih beragam dengan menggunakan berbagai media massa dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang memiliki akses kepada masyarakat luas.
4.                  Kendala-kendala Operasional
Kurangnya SDM dan Keahlian: kendala di bidang sumber daya manusia dalam pengembangan perbankan Syari’ah antara lain disebabkan oleh karena sistem perbankan Syari’ah masih belum lama dikembangkan di Indonesia. Di samping itu lembaga akademi dan pelatihan di bidang ini masih terbatas, sehingga tenaga terdidik dan pengalaman di bidang perbankan Syari’ah baik dari sisi bank pelaksana maupun dari bank sentral masih terasa kurang.
Dari berapa kendala yang di atas penulis akan melakukan eksperimen terhadap kendala point 4. Yaitu kendala SDM yang kurang berkualitas


Asuransi syariah
Definisi asuransi syari'ah menurut Dewan Syariah Nasional adalah usaha untuk saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru' yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko/bahaya tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.

Asuransi Syariah adalah sebuah sistem dimana para partisipan/anggota/peserta mendonasikan/menghibahkan sebagian atau seluruh kontribusi yang akan digunakan untuk membayar klaim, jika terjadi musibah yang dialami oleh sebagian partisipan/anggota/peserta. Peranan perusahaan disini hanya sebatas pengelolaan operasional perusahaan asuransi serta investasi dari dana-dana/kontribusi yang diterima/dilimpahkan kepada perusahaan.

Asuransi syari'ah disebut juga dengan asuransi ta'awun yang artinya tolong menolong atau saling membantu . Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Asuransi ta'awun prinsip dasarnya adalah dasar syariat yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta. Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 2, yang artinya :

"Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan"

Perbedaan
Perbedaan tersebut adalah:
1.            Asuransi syari'ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
2.            Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari'ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli
3.            Investasi dana pada asuransi syari'ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya
4.            Kepemilikan dana pada asuransi syari'ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
5.            Dalam mekanismenya, asuransi syari'ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru'.
6.            Pembayaran klaim pada asuransi syari'ah diambil dari dana tabarru' (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
7.            Pembagian keuntungan pada asuransi syari'ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.


1. Dasar Hukum Islam terkait Asuransi Syariah
1.            Surat Yusuf :43-49 “Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan.
2.            Surat Al-Baqarah : 188 Firman ALLAH SWT  “…dan janganlah kalian memakan harta di antara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu (al:Baqarah:188)
3.            Al Hasyr: 18 Artinya :”Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Alloh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang engkau kerjakan”.
2. Prinsip Asuransi Syariah
1.            Dibangun atas dasar kerjasama (taawun).
2.            Asuransi syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
3.            Sumbangan (tabarru’) sama dengan hibah (pemberian) oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peritiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4.            Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan harus disertai dengan niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwah.
5.            Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetapi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut ijin yang diberikan oleh jamaah.
6.            Apabila uang itu akan dikembangkan maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.


Perjanjian yang digunakan merupakan akad takafuli dan bukan akad tadabuli, bersifat tolong menolong (ta’awun) dengan menggunakan prinsip dasar tabarru’ dan mudharabah serta tidak mengandung unsur Riba (bunga uang), Maisir (Judi), dan Gharar (untung-untungan) yang dilarang dalam akad-akad keuangan Islami. Konsep asuransi syariah adalah konsep tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan sebagaimana telah digariskan dalam QS. Al-Maidah : 2 yang artinya dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa. Ini berarti dalam asuransi syariah semua peserta merupakan satu keluarga besar akan saling melindungi dan secara bersama-sama akan menanggung risiko keuangan dari musibah yang mungkin terjadi. Konsep asuransi syariah ini dilakukan melalui mekanisme perjanjian (akad). Asuransi syariah adalah usaha kerjasama saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang dalam menghadapi terjadinya musibah atau bencana melalui perjanjian yang disepakati bersama. Perjanjian syariah yang digunakan dalam asuransi syariah bersifat takafuli dan menggunakan prinsip dasar tabarru’ dan mudharabah.
Perjanjian bersifat ta’awun dan merupakan akad takafuli dengan prinsip mudharabah dan di dalamnya sudah mencakup tabarru’, ini mengandung pengertian bahwa akad asuransi syariah adalah akad takafuli bukan tadabuli, yaitu akad yang menggunakan prinsip tolong menolong (ta’awun) dengan adanya dana tabarru’ dan dalam pengelolaan dana (investasi) mengunakan prinsip mudharabah melalui instrumen investasi syariah. Akad takafuli yaitu perjanjian sekelompok orang yang disebut partisipan yang secara timbal balik saling menanggung atau menanggung bersama risiko diantara partisipan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Akad asuransi syariah ini merupakan akad takafuli yaitu akad yang menggunakan prinsip tolong menolong (ta’awun) dengan adanya dana tabarru’ dan dalam pengelolaan dana (investasi) menggunakan prinsip mudharabah.
Akad takafuli dalam perusahaan asuransi syariah terdiri dari akad tabarru’ dan akad tijari, dengan menggunakan prinsip mudharabah dan prinsip tabarru’. Akad tabarru’ untuk kepentingan sosial, bukan untuk mencari keuntungan dan bersifat social oriented (hibah/charity), sedangkan akad tijari untuk kepentingan komersial/bisnis, bertujuan mencari keuntungan dan bersifat profit oriented. Akad tabarru’ terkait dengan hubungan antara sesama peserta dengan prinsip saling tolong menolong dan saling menanggung antara satu peserta dengan peserta lainnya (risk sharing), sedangkan akad tijari terkait dengan hubungan antara pemegang polis dengan perusahaan, operasional dan fungsi perusahaan asuransi. Implementasi akad tabarru’ pada asuransi syariah, yaitu peserta memberikan kontribusi berupa dana tabarru’ yaitu sebagian dari premi yang diikhlaskan untuk tolong menolong dan saling menanggung setiap risiko yang ada diantara peserta (risk sharing), perusahaan asuransi bertindak sebagai operator/administrator dalam hal pengumpulan dana peserta (pool of fund), bukan untuk mendapatkan keuntungan tetapi untuk kemaslahatan umat (social oriented). Implementasi akad tijari pada perusahaan asuransi syariah adalah perusahaan asuransi berperan sebagai underwriter dan administrator, collector serta fund manager dimana kontribusi dari peserta bukan sebagai pendapatan tetapi merupakan amanah untuk dikelola secara syariah, perusahaan asuransi akan mendapatkan management fee dari fungsinya sebagai administrator dan untuk memanfaatkan dana Tabarru’/pool of hibah fund, perusahaan akan mendapatkan bagi hasil atau fee.
Pada prinsipnya akad asuransi syariah menggunakan prinsip tabarru’ dan mudharabah, namun dalam perkembangannya secara operasional asuransi syariah tidak hanya menggunakan akad mudharabah dan akad tabarru’ tetapi juga tidak menutup kemungkinan menggunakan akad wakalah, wakalah bil ujrah, musyarakah, mudharabah musytarakah. Perjanjian asuransi syariah tidak hanya menggunakan akad tabarru’ dan mudharabah tetapi juga akad-akad lainnya sebagaimana yang terdapat dalam Fatwa DSN-MUI seperti tabarru’, mudharabah, wakalah/wakalah bil ujrah, mudharabah musytarakah serta dalam suatu perjanjian asuransi dapat mengandung beberapa akad. Berdasarkan produk dasar asuransi syariah, perjanjian asuransi syariah menggunakan akad tabarru’, akad mudharabah, dan akad wakalah bil ujrah. Mekanisme asuransi syariah berupa perjanjian (akad) dan berlaku untuk jangka waktu tertentu, bisa short term ataupun long term.


Mekanisme Kerja Asuransi Syari’ah
Di dalam operasional asuransi syari’ah yang sebenarnya terjadi adalah saling bertanggung jawab, membantu dan melindungi diantara para peserta sendiri. Perusahaan asuransi diberi kepercayaan (amanah) oleh para peserta untuk mengelola premi, mengembangkan dengan jalan yang halal, memberikan santunan kepada yang mengalami musibah sesuai isi fakta perjanjian tersebut.
Adapun proses yang dilalui seputar mekanisme kerja asuransi syariah dapat diuraikan:
1. Underwriting
Underwriting adalah proses penafsiran jangka hidup seorang calon peserta yang dikaitkan dengan besarnya resiko untuk menentukan besarnya premi. Underwriting asuransi syariah bertujuan memberikan skema pembagian resiko yang proposional dan adil diantara para peserta yang secara relatif homogen.
Dalam melakukan proses underwriting terdapat tiga konsep penting yang menjadi dasar bagi perusahaan asuransi untuk menerima dan menolak suatu penutupan resiko. Pertama, kemungkinan menderita kerugian, kondisi ini diramalkan berdasarkan apa yang terjadi pada masa lalu. Kedua, tingkat resiko, yaitu ketidakpastian akan kerugian pada masa yang akan datang. Ketiga, hukum bilangan dimana makin banyak obyek yang mempunyai resiko yang sama atau hampir sama, akan makin bertambah baik bagi perusahaan karena penyebaran risiko akan lebih luas dan kemungkinan menderita kerugian dapat secara sistematis diramalkan.
Pada asuransi syariah underwriting berperan:
a. Mempertimbangkan risiko yang diajukan. Proses seleksi yang dilakukan oleh underwriting dipengaruhi oleh faktor usia, kondisi fisik atau kesehatan, jenis pekerjaan, moral dan kebiasaan, besarnya nilai pertanggungan, dan jenis kelamin.
b. Memutuskan meneriama atau tidak risiko-risiko tersebut.
c. Menentukan syarat, ketentuan dan lingkup ganti rugi termasuk memastikan peserta membayar premi sesuai dengan tingkat risiko, menetapkan besarnya jumlah pertanggungan, lamanya waktu asuransi, dan plan sesuai dengan tingkat risiko peserta.
d. Mengenakan biaya upah (ijarah/fee) pada dana kontribusi peserta.
e. Mengamankan profit morgin dan menjaga agar perusahaan asuransi tidak rugi.
f. Menjaga kestabilan dana yang terhimpun agar perusahaan dapat berkembang.
g. Menghindari anti seleksi.
h. Underwriting juga harus memperhatikan pasar kompetetif yang ada dalam ketentuan tarif, penyebaran resiko dan volume, dan hasil survei.[3]
Beberapa hal yang patut menjadi perhatian para underwriter pada asuransi umum, sebelum mengambil keputusan untuk mengaksep atau tidak suatu prospek adalah sebagai berikut:
a. Kompetisi
Disisni dituntut kematangan seorang underwriter. Underwriter yang baik adalah yang adil.
b. Penyebaran resiko dan volume.
c. Survei
Survei akan memungkinkan underwriter memperoleh setiap detail kemungkinan mengenai resiko kondisi fisik dan juga kesempatan mengamankan informasi mengenai keadaan moral pemohon. Laporan survei meliputi sejumlah ciri-ciri berikut:
1) Deskripsi utuh terhadap resiko.
2) Penilaian tingkat resiko.[4]
3) Pengukuran kemungkinan kerugian maksimal.
Calon peserta harus mengisi formulir permohonan secara lengkap yang intinya antara lain sebagai berikut:
a. Uraian bisnis secara rinci.
b. Perubahan bisnis yang dilakukan belakangan ini dan kemungkinan pengembangannya selama masa keikutsertaannya asuransi syariah.
c. Catatan perkara yang telah dialami.[5]
2. Polis
Polis asuransi adalah surat perjanjian antara pihak yang menjadi peserta asuransi dengan perusahaan asuransi. Polis asuransi merupakan bukti auntetik berupa akta mengenai adanya perjanjian asuransi. Unsur-unsur yang harus ada dalam polis adalah:
a. Deklarasi, memuat data yang berkaitan dengan peserta seperti nama, alamat, jenis dan lokasi objek asuransi, tanggal dan jangka waktu penutupan, perhitungan dan besarnya premi serta informasi lain yang diperlukan.
b. Perjanjian asuransi, memuat pernyataan perusahaan asuransi menyatakan kesanggupannya mengganti kerugian atas objek asuransi apabila terjadi kerusakan.
c. Pernyataan polis, memuat kondisi objek, batas waktu pembayaran premi, permintaan pembatalan polis, prosedur pengajuan klaim, asuransi ganda, subrogasi.
d. Pengecualian, memuat penyebutan dengan jelas musibah apa saja yang tidak ditutup atau diluar penutupan asuransi.
e. Kondisi pertanggungan, memuat kondisi objek yang diasuransikan.
f. Polis ditandatangani oleh perusahaan asuransi.
Dalam asuransi Islam, untuk menghindari unsur-unsur yang diharamkan di atas kontrak asuransi, maka diberikan beberapa pilihan kontrak alternatif dalam polis asuransi tersebut. Sebagai ilustrasi:
a. Polis dengan akad Mudhorobah atau mudhobbah musyarakah. Pada akad Mudhorobah peserta asuransi menyediakan modal untuk dikelola oleh operator asuransi. Sedangkan Mudhorobah musyarakah perusahaan asuransi sebagai Mudhorib menyertkan modal atau dananya dalam investasi bersama dana peserta. Dalam kontrak tercantum persetujuan kontribusi yang dijadikan dana asuransi syariah dan pihak operator berhak mengelola dan mengivestasikan dana asuransi untuk kepentingan perusahaan sesuai dengan prinsip Mudhorobah. Peserta menyetujui kontribusinya dijadikan tabarru’ dan digunakan untuk membantu peserta lain yan tertimpa musibah dalam bentuk hibah.
b. Wakalah bil ujrah, yaitu pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan pemberian ujrah (fee). Persetujuan kontribusi yang dimasukkan dapat dinvestasikan dan dikelola sesuai dengan prinsip syariah, persetujuan pembayaran klaim/manfaat asuransi, provisi dan cadangan sesuai pedoman dan kebijakan otoritas. Persetujuan membayar biaya wakalah bil ujrah.
3. Premi (Kontribusi)
Premi asuransi bagi peserta secara umum bermanfaat untuk menentukan besar tabungan peserta asuransi, mendapatkan santunan kebajikan atau dana klaim terhadap suatu kejadian yang mengakibatkan terjadinya klaim, menambahkan investasi pada masa yang akan datang. Sedangkan bagi perusahaan premi berguna untuk menambah investasi pada suatu usaha untuk dikelola. Premi yang dikumpulkan dari peserta paling tidak harus cukup untuk menutupi tiga hal, yaitu klaim resiko yang dijamin, biaya akuisisi, dan biaya pengelolaan operasional perusahaan.
Premi dalam asuransi syariah umumnya dibagi beberapa bagian, yaitu:
1) Premi tabungan, yaitu bagian premi yang merupakan dana tabungan pemegang polis yang dikelola oleh perusahaan dimana pemiliknya akan mendapatkan hak sesuai dengan kesepakatan dari pendapatan investasi bersih. Premi tabungan dan hak bagi hasil investasi akan diberikan kepada peserta bila yang bersangkutan dinyatakan berhenti sebagai peserta.
2) Premi tabarru’, yaitu sejumlah dana yang dihibahkan oleh pemegang polis dan digunakan untuk tolong menolong dan menaggulangi musibah kematian yang akan disantunkan kepada ahli waris bila peserta meninggal dunia sebelum masa asuransi berakhir.
3) Premi biaya adalah sejumlah dana yang dibayarkan oleh peserta kepada perusahaan yang digunakan untuk membiayai operasional perusahaan dalam rangka pengelolaan dana asuransi.
Penetapan besarnya tarif premi tidak ditentukan oleh pemerintah, karena diserahkan pada mekanisme pasar yang berlaku. Namun pada dasarnya tarif premi menurut aturan pemerintah harus memenuhi unsur berikut:
Penetapan tarif premi asuransi kerugian, perhitungan jumlah premi yang akan mempengaruhi dana klaim tergantung pada beberapa hal, antara lain:
1) Penetapan tarif premi harus dilakukan dengan memperhitungkan:
a. Premi murni dihitung berdasarkan profil kerugian untuk jenis asuransi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 5 tahun terakhir.
b. Biaya perolehan, termasuk komisi agen.
c. Biaya administrasi dan biaya umum lainnya.
2) Tarif premi harus ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak melebihi dan tidak ditetapkan secara diskriminatif. Demikian pula tidak boleh terlalu berlebihan sehingga tidak sebanding dengan manfaat yang dijanjikan.
4. Pengeolaan dana asuransi (Premi)
Pengelolaan dana asuransi (premi) dapat dilakukan dengan akad mudharabah, mudharabah musyarakah, atau wakalah bil ujrah. Pada akad mudhorobah, keuntungan perusahaan asuransi syariah diperoleh dari bagian keuntungan dana dari investasi (sistem bagi hasil). Para peserta asuransi syariah berkedudukan sebagai pemilik modal dan perusahaan asuransi syariah berfungsi sebagai pihak yang menjalankan modal. Keuntungan yang diperoleh dari pengembangan dana itu dibagi antara peserta dan perusahaan sesuai ketentuan yang telah disepakati.
Pada akad mudharobah musyarakah, perusahaan asuransi bertindak sebagai mudharib yang menyertakan modal atau dananya dalam investai bersama dana para peserta. Perusahaan dan peserta berhak memperoleh bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh dari investasi. Sedangkan pada akad wakalah bil ujrah, perusahaan berhak mendapatkan fee sesuai dengan kesepakatan. Para peserta memberikan kuasa kepada perusahaan untuk mengelola dananya dalam hal: kegiatan administrasi, pengelolaan dana, pembayaran klaim, underwriting, pemasaran, dan investasi.[6]
Dalam mendeskripsikan tentang cara atau mekanisme kerja asuransi syariah ini, akan dibagi kepada dua pembahasan pokok sesuai dengan pembagian asuransi syariah itu sendiri, yakni asuransi syariah keluarga dan asuransi umum. Pembagian ini sangat penting dilakukan mengingat mekanisme kerja dari kedua syariah itu memiliki sedikit perbedaan, yakni dalam pengelolaan premi yang disetor kepada perusahaan asuransi syariah. Perbedaan itu muncul disebabkan sesuatu yang diasuransikannya berbeda; kalau asuransi umum (kerugian) yang diasuransikan itu harta atau hak milik peserta asuransi, sedangkan diasuransi keluarga (jiwa) yang diasuransikan adalah diri peserta asuransi itu sendiri.
Selain kedua topik diatas, dalam bagian ini akan dibahas pula tentang pembayaran klaim oleh perusahaan asuransi kepada peserta asuransi yang tertimpa musibah atau bencana.
1. Mekanisme kerja asuransi keluarga
Mekanisme asuransi keluarga ini diawali oleh terjadinya akad atau transaksi antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi. Akad tersebut dilakukan sesuai dengan produk asuransi yang akan dimanfaatkan oleh peserta asuransi. Untuk satu produk asuransi akan dilakukan satu akad. Pada saat akad berlangsung peserta asuransi harus sudah menentukan produk asuransi yang akan diambil, seperti Asuransi Berjangka (10, 15, atau 20 tahun), Asuransi dana Investasi, Asuransi Kesehatan, Asuransi Kecelakaan Diri. Setelah akad berlangsung, maka dalam asuransi keluarga diatur menurut sebagai berikut:
a. Peserta asuransi syariah bebas memilih salah satu jenis syariah keluarga yang ada dengan ketentuan umur peserta antara 18 sampai dengan 50 tahun dengan masa pembayaran klaim berakhir sebelum mencapai umur 60 tahun.
b. Perusahaan asuransi syariah dan peserta asuransi syariah mengadakan perjanjian mudhorobah (bagi hasil), yang sekaligus dinyatakan pula hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak.
c. Setiap peserta asuransi syariah menyerahkan premi asuransi yang dapat dilakukan secara bulanan, kuartalan, setengah tahunan, atau tahunan. Premi yang diserahkan dengan kemampuan peserta, tetapi tidak boleh kurang dari jumlah minimal yang ditetapkan perusahaan asuransi sebagai berikut:
1) Setiap premi yang dibayarkan peserta dibagi kedalam dua rekening, yaitu rekening peserta dan rekening derma atau tabarru’. Presentase kedua rekening itu ditentukan sesuai kelompok umur peserta dan jangka waktu pertanggung.
2) Uang angsuran (premi) oleh perusahaan asuransi akan akan disatukan ke dalam “Kumpulan Dana Peserta”, yang selanjutnya diinvestasikan dalam pembiayaan-pembiayaan proyek yang dibenarkan syariah.
3) Keuntungan yang diperoleh dari investasi itu akan dibagi dengan peserta sesuai dengan perjanjian mudhorobah yang telah disepakati sebelumnya.
4) Keuntungan bagian peserta akan dikreditkan ke dalam rekening peserta dan rekening derma atau tabarru’ secara proposional.
Mekanisme kerja di asuransi Syariah Keluarga ini secara sederhana dapat dibuatkan gambar sebagaimana terlihat dibawah ini.

Bank Syariah
Bank Konvesional
1.    Melakukan investasi-investasi yang halal saja.
1.     Investasi yang halal dan haram.
2.    Berdasarkan prinsip bagi hasil
·      Besarnya disepakati pada waktu akad dengan berpedoman kepada kemungkinan untung rugi.
·      Besar rasio didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
·      Rasio tidak berubah selama akad masih berlaku
·      Kerugian ditanggung bersama
·      Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan
·      Eksistensi tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
2.     Memakai perangkat bunga
·      Besarnya disepakati pada waktu akad dengan asumsi akan selalu untung
·      Besarny presentase didasarkan pada jumlah modal yang dipinjamkan
·      Bunga dapat mengambang dan besarnya naik turun
·      Pembayaran bunga besarnya tetap tanpa pertimbangan untung rugi
·      Jumlah bunga tidak meningkat sekalipun keuntungan meningkat
·      Eksistensi bunga diragukan
3.    Berorientasi pada keuntungan (profit oriented) dan kemakmuran dan kebahagian dunia akhirat
3.     Profit oriented
4.    Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.
4.     Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur.
5.    Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah
5.     Tidak terdapat dewan sejenis