PENGERTIAN
Hukum Perbankan Syariah terdiri dari tiga suku kata, yaitu
"Hukum", "Perbankan", "Syariah" dan tidak lepas
dari kata "Bank" itu sendiri. Dalam Konteks ini memiliki pengertian
masing-masing yakni:
Hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah sekumpulan
peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan
peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama yang dapat
dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi
Perbankan menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Syariah dalam versi Bank Syariah Indonesia adalah aturan
perjanjian berdasarkan yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai
dengan hukum Islam.
Syariah
Perbankan Syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank
Syariah dan Unit
Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara
dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.
Jadi dapat disimpulkan Hukum Perbankan Syariah adalah segala
aturan hukum yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank
Syariah dan Unit
Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara
dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya
Selain itu perlu juga diketahui dua pengertian berikut:
Bank menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah adalah badan
usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk
Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan/atau
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
Bank Syariah menurut
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah Bank
yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah dan
menurut jenisnya terdiri atas Bank
Umum Syariah dan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
DASAR HUKUM BANK SYARIAH
Bank Syariah secara yuridis formal di Indonesia memiliki
dasar diantaranya:
• Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
• Undang-Undang
Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992
tentang Perbankan
• Undang-Undang
Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
• Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia
• Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 tentangPeradilan Agama
• Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
tentangPeradilan Agama
• Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
VISI, MISI DAN SASARAN PERBANKAN SYARIAH*
Visi Perbankan Syariah
Perbankan Syariah memiliki visi untuk Terwujudnya sistem
perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian
yang mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan
berbasis bagi hasil (share-based financing) dan transaksi riil dalam kerangka
keadilan, tolong menolong menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan
masyarakat.
Misi Perbankan Syariah
Misi perbankan syariah berdasarkan visi nya adalah:
• melakukan
kajian dan penelitian tentang kondisi, potensi serta kebutuhan perbankan
syariah secara berkesinambungan;
• mempersiapkan
konsep dan melaksanakan pengaturan dan pengawasan berbasis risiko guna
menujamin kesinambungan operasional perbankan syariah yang sesuai dengan
karakteristiknya;
• mempersiapkan
infrastruktur guna peningkatan efesiensi operasional perbankan syariah;
• mendisain
kerangka entry dan exit perbankan syariah yang dapat mendukung stabilitas
perbankan.
Sasaran Perbankan Syariah
Sasaran pengembangan perbankan syariah sampai tahun 2011
adalah:
• Terpenuhinya
prinsip syariah dalam operasional perbankan yang ditandai dengan: (1)
tersusunnya norma-norma keuangan syariah yang seragam (standardisasi); (2)
terwujudnya mekanisme kerja yang efisien bagi pengawasan prinsip syariah dalam
operasional perbankan , baik instrumen maupun badan terkait; (3) rendahnya tingkat
keluhan masyarakat dalam hal penerapan prinsip syariah dalam setiap transaksi.
• Diterapkannya
prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syariah, yaitu (1)
terwujudnya kerangka pengaturn dan pengawasan berbasis risiko yang sesuai
dengan karakteristiknya dan didukung o;leh sumber daya insani yang andal; (2)
diterapkannya konsep coorporate governance dalam operasional perbankan syariah;
(3) diterpkannya kebijakan entry dan exit yang efisien; (4) terwujudnya reatime
supervision; (5) terwujudnya self regulatory system.
• Terciptanya
sistem perbankan syariah yang kompetitif dan efisien yang ditandai dengan: (1)
terciptanya pesaing-pesaing yangmampu bersaing secara global;(2) terwujudnya
aliansi strategis yang efektif; (3) terwujudnya mekasime kerjasama dengan
lembaga-lembaga pendukung.
• Terciptanya
stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas, yang
ditandai dengan: (1) terwujudnya safety net yang merupakan kesatuan dengan
konsep operasional perbankan yang berhati-hati; (2) terpenuhinya kebutuhan
masyarakat yang menginginkan layanan bank syariah diseluruh Indonesia dengan
target pangsa pasar 5% dari total aset perbankan nasional; (3) terwujudnya
fungsi perbankan syariah yang kaffah dan dapat melayani seluruh segmen masyarakat;
(4) meningkatnya proposal pola pembiayaan secara bagi hasil.
kumpulan makalah
Tempat Yang menyediakan Makalah dan Skripsi Gratis, Dengan
Berbagai Macam jurusan dan fakultas, seperti Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Hukum, Ekonomi, Fakultas Ilmu Sosial (Geografi, sosiologi, Dll),
Fakultas Ilmu Politik, Teknik (PS Teknik Arsitektur), Fakultas Pertanian,
Kehutanan, Perikanan, Fakultas Teknik (PS Teknik Sipil , Tek. Tambang, dan Tek.
Kimia), Fakultas Kedokteran, MIPA, Fakultas Syariah, Tarbiyah, Fakultas Tata
Busana, Tata boga, bahasa, dan lain sebagainya
Thursday, February 7, 2013
Dasar Hukum Perbankan Syari’ah (Sistem Perundang-Undangan
dalam Berbagai Produk)
A. Perkembangan
Dasar Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Konsep negara hukum yang tercantum dalam konstitusi
Indonesia[1] memberikan dampak terhadap subjek hukum baik warga negara atau
badan hukum, sehingga setiap perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum wajib
memiliki dasar hukum, mengikuti hukum yang berlaku, dan tidak melanggar peraturan-peraturan
yang ada. Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, jenis dan heirarki Peraturan
Perundang-Undangan yang dijadikan sumber hukum di Indonesia, baik materiil
maupun formil, adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang
Dasar Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
c. Peraturan
Pemerintah
d. Peraturan
Presiden
e. Peraturan
Daerah[2]
Berdasarkan substansi pasal di atas, perbankan syariah dalam
menjalankan aktivitasnya wajib menggunakan heirarki Peraturan
Perundang-Undangan sebagai dasar hukum serta beberapa peraturan dari instansi
tertentu yang terkait secara langsung terhadap bank syariah. Adapun dasar hukum
yang menurut kami menjadi dasar dari perbuatan subyek hukum terutama dalam
perbankan syari’ah adalah sebagai berikut:
1. Pancasila
Pancasila tidak dimasukkan dalam heirarki
perundang-undangan. Akan tetapi lebih disebut sebagai norma dasar Negara.
Pancasila merupakan landasan filosofis dari setiap produk hukum di Indonesia,
sehingga semua substansi peraturan yang berada dibawahnya tidak bertentangan
dengan setiap silan yang ada. Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan
landasan filosofis bagi institusi-institusi keagamaan termasuk juga bank
syariah. Secara umum sila ini memberikan pernyataan bahwa negara melindungi
setiap warga negaranya dalam menjalankan aktifitas keagamaannya selama tidak
bertantangan dengan hukum dan norma-norma sosial, sebagaimana dijabarkan dalam
pasal 29 UUD 1945. Selain itu, jika dihubungkan dengan prinsip Islam, sila ini
menunjukkan adanya unsur tauhid atau ke-Esa-an Allah SWT. dan sekaligus
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang beragama.
Bank syariah dan
Bank Pembiayaan Masyarakat yang menjalankan usahanya berdasar pada prinsip ekonomi Islam (fiqh muamalah)
memiliki kesempatan yang luas dalam mengembangkan usahanya dengan adanya
perlindungan dari negara, sebab usaha ini dapat dikatagorikan dalam praktik
peribadatan umat Islam pada bidang ekonomi. Usaha yang mengedepankan prinsip
tolong menolong, kejujuran, antaradin, dan keadilan sebagaimana yang diajarkan
dalam Islam.
2. Pasal 33
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dalam ilmu hukum
disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum. UUD Tahun 1945 menempati
posisi teratas dalam heirarki perundang-undangan sebagaimana yang tedapat pada
pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan di atas. Peletakan UUD 1945 pada posisi ini disebabkan
kedudukannya yang urgen bagi negara, yaitu sebagai salah satu syarat
terbentuknya sebuah negara. Menurut Hans Kalsen Undang-Undang Dasar
dikategorikan sebagai Grundnormen[3] atau norma dasar yang menjadi payung bagi
peraturan-peraturan yang berada dibawahnya. Aturan dasar pada ranah
perekonomian terdapat dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang berbunyi:
(1) Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini
diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan substansi pasal di atas dapat diketahui bahwa
sistem perekonomian di Indonesia mengacu
pada beberapa prinsip, antara lain:
a. Kebersamaan
dan kekeluargaan[4]
b. Kemakmuran
rakyat[5]
c. Keadilan[6]
d.
Berkelanjutan[7]
e.
kemandirian[8]
Bank Syariah sebagai salah satu pelaku perekonomian memiliki
tanggung jawab untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip di atas dalam
menjalankan aktivitasnya. Menghimpun dana dari masyarakat kemudian
menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan untuk meningkatkan
kemandirian rakyat dalam berusaha yang berkelanjutan guna meningingkatkan perekonomian mereka berdasarkan
prinsip kekeluargaan.
3. Undang-Undang No.14 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Perbankan
Sesungguhnya regulasi perbankan di Indonesia secara
sistematis di mulai sejak tahun 1967, yakni dengan dikeluarkannya Undang-Undang
No.14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan. Akan tetapi dalam Undang-Undang
ini tidak ditemukan pasal yang mengatur sistem Perbankan secara spesifik, terutama yang berkenaan
dengan perbankan syari’ah, melainkan mengatur sistem perbankan yang berlaku
pada masa itu secara komperehensif, yakni berupa perbankan konvensional.
Adapun sistem perbankan konvensional pada masa ini tidak
terlepas dari konsep pemberlakuan bunga. Hal ini disebabkan karena konsep
pemberlakuan bunga tersebut telah melekat pada definisi kredit yang di sebutkan
dalam Pasal 13 huruf (c) Undang-Undang N0.14 Tahun 1967 yang menyatakan:
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang
dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara bank
dengan lain pihak dalam hal, mana pihak peminjam berkewajiban melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah
ditetapkan.[9]
Oleh
karena itu pada periode ini, tidak dimungkinkan berdirinya sistem perbankan
syari’ah, akan tetapi Undang-Undang inilah yang akan berhubungan dengan
kedudukan perbankan syari’ah.
4. Periode
Deregulasi 1 Juni 1983
Gagasan
bank syariah di Indonesia muncul sejak tahun 1980-an oleh beberapa orang
praktisi di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM
Saefuddin, dan M Amien Azis.[10] Di awal tahun 1980-an, sisitem pengendalian
tingkat bunga oleh pemerintah mulai mengalami kesulitan. Dan dampak yang muncul
adalah:
1. Bank-bank yang
telah didirikan sangat tergantung pada likuiditas Bank Indonesia
2. Tidak ada
persaingan antar bank akibat dari penentuan tingkat bunga oleh pemerintah
Hal tersebut menyebabkan pemerintah kemudian mengeluarkan
Deregulasi dibidang perbankan tanggal 1 juni 1983 yang membuka belenggu
penetapan tingkat bunga tersebut dengan harapan suatu bank dapat menentukan
tingkat bunga sebesar 0%.
Akan tetapi Deregulasi 1 juni 1983 ini tidak menimbulkan
suatu dampak yang merupakan penerapan dari sistem perbankan syari’ah melalui
perjanjian murni berdasarkan prinsip bagi hasil. Ada beberapa alasan yang
menghambat ter-realisasinya Deregulasi tersebut, yakni:
a. Operasi bank
islam yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur
b. Deregulasi
tersebut tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan N0.14 Tahun 1967[11]
c. Konsep Bank
Islam dianggap berkonotasi ideologis, karena berkaitan dengan Negara Islam,
sedangkan Indonesia bukanlah Negara Islam.[12]
Dan pada masa itu Bank Islam belum dapat berdiri, karena
bank-bank yang telah ada di Indonesia masih beranggapan bahwa sistem bank tanpa
bunga bukanlah sebagai bisnis yang dapat menguntungkan. Oleh karena itu
digunakanlah badan hukum koperasi sebagai bentuk hukumnya, sebagai wadah
penerapan sistem perbankan syari’ah.
5. Periode
Pakto 1988
Pada tahun 1988, pemerintah memandang perlu untuk membuka
peluang bisnis perbankan seluas-luasnya dengan tujuan untuk memobilitasi dana
masyarakat untuk menunjang pembangunan. Oleh karena itu dikeluarkanlah Paket
Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober (PAKTO) pada tanggal 27 1988 yang berisi
tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru
selain bank-bank yang telah ada.[13]
6. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Titik terang berdirinya Bank Syariah dimulai sejak
diadakannya lokakarya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dilanjutkan pada
Musyawarah Nasional IV MUI pada tahun 1990. Kemudian pada tahun 1991 berdirilah
Bank Muamalat Indonesia yang memakai prinsip ekonomi Islam dalam menjalankan
aktivitasnya. Secara yuridis keberadaan bank Syariah pertama kali diakui oleh
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pada Pasal 6 huruf (m)
menyatakan bahwa :
Bank Umum diperbolehkan untuk menyediakan pembiayaan bagi
nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
dalam Peraturan Pemerintah
Pasal 13 huruf (c) yang menyatakan bahwa:
Bank perkreditan Rakyat dapat menyediakan pembiayaan bagi
nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;[14]
Berdasarkan pasal di
atas, diketahui bahwa sistem bagi hasil yang ada dalam konsep ekonomi Islam
sudah mulai diperhatikan, namun nama bank syariah sendiri belum diatur dalam
undang-undang ini.
7. Peraturan
Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum
Peraturan Pemerintah
Nomor 70 Tahun 1992 adalah
peraturan operasional dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Di dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah ini disebutkan mengenai bank
bagi hasil, yakni:
Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil,
dalam rancangan anggaran dasar dan rencana kerja harus secara tegas
mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi
hasil.
Tidak ada pasal lain dalam peraturan pemerintah ini yang
mengatur mengenai bank yang menjalankan prinsip bagi hasil dalam aktivitasnya.
8. Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat
Sama halnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992
tentang Bank Umum, hanya ada satu pasal yang mengatur tentang bank perkreditan
yang menjalankan prinsip bagi hasil yaitu Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi:
Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip bagi hasil, harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha
bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil dalam rancangan anggaran
dasar dan rencana kerjanya.[15]
9. Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 telah secara
spesifik mengatur mengenai bank berdasarkan prinsip bagi hasil, sebagaimana
yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:
Pasal 1
(1) Bank
berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat
yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
(2) Bank Umum
atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha bank sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), wajib memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum dan Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat serta peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat.
Pada dua Peraturan Pemerintah sebelumnya tidak dijelaskan
dasar hukum dari prinsip bagi hasil yang dimaksud di dalamnya, baru kemudian
pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 1992 dijelaskan bahwasannya dasar dari prinsip bagi hasil tersebut
adalah Syari'at (hukum) Islam.[16]
Kejanggalan yang terjadi pada pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 adalah dimana bank menetapkan imbalan yang akan
diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan/pemanfaatan dana
masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Hal ini bertentangan dengan logika
bahwa orang yang meminjamkan atau menyediakan dana memberikan imbalan kepada
siapapun yang meminjam dana atau menggunakan dana darinya.[17] Sedangkan
munculnya Dewan Pengawas Syariah dalam bank yang menjalankan prinsip bagi hasil
beserta siapa yang berhak membentuknya dan apa saja fungsi dewan pengawas
tersebut, disebutkan dalam:
Pasal 5
(1) Bank
berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syari'at yang
mempunyai tugas melakukan pengawasan atas produk perbankan dalam menghimpun
dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat agar berjalan sesuai
dengan prinsip Syari'at.
(2)
Pembentukan Dewan Pengawas Syari'at diiakukan oleh Bank yang
bersangkutan berdasarkan hasil konsultasi dengan lembaga yang menjadi wadah
para ulama Indonesia.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Dewan
Pengawas Syariat berkonsultasi dengan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2).
Dan larangan untuk menjalankan dual-banking system yang
menjadikan kerancuan atau tidak jelasnya sistem yang digunakan, sebagaimana diatur
pada pasal 6 dan 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992:
Pasal 6
(1) Bank Umum
atau bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan
prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak
berdasarkan prinsip bagi hasil
(2) Bank Umum
atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip
bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan
prinsip bagi hasil.[18]
Pasal 7
(1) Bank Umum
atau Bank Perkreditan Rakyat yang telah melakukan kegiatan usaha semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini
tetap dapat melakukan kegiatan usahanya, dan wajib memenuhi ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
(2) Bank Umum
atau Bank Perkreditan Rakyat yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan dengan
tembusan kepada Bank Indonesia untuk memperoleh penyesuaian izin usaha.
10. Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Pada tahun 1998, undang-undang nomor Nomor 7 Tahun 1992
dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Perubahan-perubahan
yang ada dalam substansi undang-undang perbankan memberikan peluang yang lebih
besar kepada bank syariah untuk berkembang. Adapun tujuan dikembangnya sistem
perbankan syariah antara lain:
1. Memenuhi
kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga
2. Membuka
peluang bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan (mutual investor
relationship)
3. Meniadakan
pembebana bunga yang berkesinambungan dan pembiayaan usaha berbasis moral.[19]
Undang-undang ini memberikan penegasan terhadap konsep
perbankan Islam dengan mengubah penyebutan “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi
Hasil” pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 menjadi “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Penyebutan ini terdapat pada:
Pasal 1 ayat (3)
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
Pasal 1 ayat (4)
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
Pasal 1 ayat (12)
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil;
Pasal 1 ayat (13)
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum
Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah,
antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa
pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang
yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina);
Selain kejelasan prinsip, undang-undang ini juga telah
membahas cara penyeluran dana yang sesuai dengan pokok-pokok ekonomi Islam
seperti mudharabah, ijarah, murabahah, musyarakah, atau ijarah wa iqtina.
Pengaturan lebih lanjut terhadap bank Syari’ah ini ditindak
lanjuti oleh BI dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Direksi BI Pada tanggal
12 Mei 1999 yakni:
1. Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya
Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;
2. Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
3. Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.[20]
Beberapa Surat Keputusan Direktur BI tersebut semakin
memantapkan keberadaan bank syari’ah. Beberapa produk syar’i siap
dioperasionalisakasn dengan payung hukum yang jelas. Bank-bank konvensional
dapat membuka cabang syari’ah dengan leluasa, selama memenuhi persyaratan.
Demikian juga, jika bank syari’ah akan dipraktekkan dengan bentuk BPR, maka
keluarnya Surat Keputusan tersebut merupakan payung hukumnya.
Kemudian untuk mengatur kelancaran lintas pembayaran antar
bank serta pelaksanaan Pasar Uang antar bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah
(PUAS), telah dikeluarkan peraturan sebagai berikut:
1. Peraturan Bank
Indonesia No. 2/4/PBI/2000 tanggal Februari 2000 tentang Kliring bagi Bank Umum
Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah Bank Umum Konvensional.
2. Peraturan Bank
Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Giro Wajib Minimum
(GWM), yang kemudian khusus
tentang Perbankan Syari’ah diatur lebih lanjut oleh PBI No.6/21/PBI/2004
tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah
dan Valuta Asing bagi Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarakan
Prinsip Syari’ah.
3. Peraturan Bank
Indonesia No.2/8/2000 Tanggal 23 Februari 2000 tentang Pasar Uang antar bank
berdasarkan Prinsip Syari’ah.
4. Peraturan Bank
Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000 tentang Sertifikat Wadiah
Bank Indonesia (SWBI).[21]
5. Peraturan Bank
Indonesia No. 5/3/PBI/2003 tanggal 4 Februari 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan
Jangka Pendek bagi Bank Islam (FPJPS).[22]
Munculnya peraturan-peratuan di atas, kemudian
ditinjaklanjuti oleh tugas dan wewenang BI dalam menegakkan aturan di atas,
dengan dimunculkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal
10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan
cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter.
Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank
Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan
memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling
lama 90 (sembilan puluh) hari. Dengan demikian, UUBI sebagai undang-undang bank
sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat
bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan
tugas dan kewenangannya.
11. Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang
perbankan syariah adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008. Undang-undang ini
muncul setelah perkembangan perbankan syariah di Indonesia mengalami
peningkatan yang signifikan. Pada bab I pasal 1 yang berisi tentang Ketentuan
Umum undang-undang ini telah membedakan secara jelas antara bank kovensional
beserta jenis-jenisnya dengan bank syariah beserta jenis-jenisnya pula.
Perbedaan penyebutan pun telah dibedakan sebagaimana diatur dalam pasal 1 poin
ke-6 yang menyebut “Bank Perkreditan Rakyat” sedangkan poin ke-9 menyebutkan
dengan “Bank Pembiayaan Rakyat”.
Usaha Bank Syariah dalam menjalankan fungsinya adalah
menghimpun dana dari nasabah dan menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad-akad
yang terdapat dalam ekonomi Islam. Seperti mudharabah, wadi’ah, masyarakah,
murabahah, atau akad-akad lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
12. Fatwa Majelis
Ulama Indonesia
Selain dasar hukum yang telah disebutkan di atas, landasan
hukum Islam yang dimaksud dalam perbankan syariah adalah fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga tertentu yang berwenang sebagaimana yang diatur pada pasal 1 poin
ke-12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008:
Prinsip Syariah adalah
prinsip hukum Islam
dalam kegiatan perbankan berdasarkan
fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Meskipun tidak disebutkan secara langsung, undang-undang
memberikan Dewan Syariah Nasional MUI sebagai lembaga yang berwenang
mengeluarkan fatwa sekaligus berwenang merekomendasikan Dewan Pengawas Syariah
yang ditempatkan pada bank-bank syariah dan unit usaha syariah. Dan fatwa MUI belum memiliki kekuatan hukum
yang cukup jika tidak dikonversi ke dalam peraturan yang termasuk dalam
heirarki perundang-undangan. Akan tetapi fatwa tersebut termasuk dalam doktrin
hukum yang bisa dipakai jika pencari fatwa sepakat dengan pendapat mufti.
MUI sebagai salah satu lembaga yang dipercaya oleh
Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah unruk mengeluarkan acuan berupa
fatwa, telah mengeluarkan kurang lebih 43 fatwa terkait dengan perbankan
syariah. Di antaranya adalah fatwa tentang giro dengan menggunakan sistem
wadhi’ah, yaitu pada fatwa DSN No.01/DSN-MUI/IV/2000. Pada fatwa ini, giro yang
berdasarkan Wadhi’ah ditentukan bahwa:
1. Dana yang
disimpan pada bank adalah bersifat titipan
2. Titipan (dana)
ini bias diambil kapan saja (on call)
3. Tidak ada
imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian yang bersifat sukarela
dari pihak bank[23]
Meskipun demikian, kedudukan fatwa lebih cocok jika
dikategorikan sebagai doktrin hukum yang tidak terlalu kuat jika dijadikan
sumber rujukan untuk membuat suatu hukum apabila tidak dikonversi menjadi salah
satu jenis produk hukum yang terdapat dalam heirarki perundang-undangan.
13. Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa
beberapa perubahan yang signifikan terhadap kedudukan dan eksistensi peradilan
agama di Indonesia. Kewenangan absolut dari peradilan agama mengalami
perluasan, yakni pengadilan agama berwenang menangani permasalahan ekonomi
syariah yang meliputi perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah,
asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, dan beberapa masalah ekonomi
Islam lainnya.
Perkembangan ini menuntut Mahkamah Agung mengeluarkan
peraturan yang terkait dengan permasalahan ekonomi Islam. Pada tanggal 10
September 2008 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. PERMA ini adalah sarana
memperlancar dalam pemeriksaan dan penyelesasian sengketa ekonomi syariah
sekaligus pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi berdasarkan prinsip Islam,
sebagaimana terdapat di dalam konsiderannya.Penyusunan KOHES ini tidak bisa
terlepas dari sejumlah rujukan baik dari beberapa kitab fiqh, fatwa-fatwa DSN
MUI, dan peraturan BI tentang Perbankan Syariah.
Beberapa peraturan yang dapat dijadikan acuan secara khusus
dalam pelaksanaan perekonomian Islam khususnya perbankan syariah terdapat pada
Buku II KOHES
a.
Mudharabah (Pasal 231 sampai pasal 254)
Peranan bank Syariah di dalam KOHES hanya sebagai perantara
antara pemilik modal (shahib al-mal) dengan pelaku usaha (mudharib). Hal ini
disebankan tidak adanya klausul yang menyatakan bahwa bank syariah memiliki
wewenang sebagai pelaku usaha. Atau dengan kata lain bank berfungsi sebagai
mediator dalam terjadinaya akad mudharabah, memeriksa kelayakan dari penerima
modal, dan melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha. Permasalahan ini
sejalan dengan tugas dari bank syariah, yaitu menghimpun dana dan menyalurkan
pembiayaan kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
b.
Wadhi’ah (Pasal 414 sampal pasal 434)
Dalam permasalahan wadhi’ah, bank syariah berfungsi sebagai
sarana atau tempat dari shahib al-mal untuk menitipkan hartanya. Pada pasal 418
pasal (1) KOHES dinyatakan bahwa terdapat dua akad wadh’iah. Pertama, wadhi’ah
amanah dimana penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang titipan
kecuali ada ijin dari penitip. Kedua, wadhi’ah dhammanah dimana penerima
titipan diperkenankan menggunakan barang titipan tanpa seijin penitip. Apabila
akad yang kedua yang digunakan oleh bank syariah dalam melakukan penghimpunan
dana masyarakat, maka modal yang terhimpun dapat dikembangkan untuk melakukan
pembiayaan operaasional bank syariah. Pasal 419 menyatakan bahwa dalam akad
wadhi’ah dhammanah penerima titipan boleh memberikan imbalan secara sukarela
kepada penitip. Menurut penulis, imbalan yang dimaksud adalah bentuk ungkapan
terima kasih, bentuk komitmen, dan memperkuat kepercayaan masyarakat kepada
bank syariah. Namun, adanya imbalan ini tidak bisa dipersyaratkan pada saat
akad.
B. Penerapan
Akad pada Perbankan Syari’ah
Akad adalah suatu pertalian antara ijab dan Kabul yang
dibenarkan oleh syara’yang menimbulkan akibat hokum terhadap objeknya.
Sedangkan Ijab adalah suatu pernyataan dari seseorang yakni pihak pertama untuk
menawarkan sesuatu. Dan Kabul adalah suatu pernyataan dari seseorang yakni
pihak kedua untuk menerima atau mengabulkan tawaran dari pihak pertama.[24]
Dalam perbankan syari’ah akad yang dilakukan adalah
berdasarkan hukum islam. Ada beberapa asas al-‘uqud yang harus dilindungi dan
dijamin dalam wadah Undang-Undang Perbankan Syari’ah. Adapun asas-asas tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Aasas
Ridha’iyyah (asas rela sama rela)[25]
2. Asas
Manfaat[26]
3. Asas
Keadilan,[27] dan;
4. Asas Saling
Menguntungkan[28]
Jika di dalam hukum islam disebutkan bahwasannya rukun dan
syarat dari perikatan islam adalah harus adanya:
c. Al-Aqidain
(Subyek Perikatan)
d. Mahallul ‘Aqd
(Obyek Perikatan)
e. Maudhu’ul
‘Aqd (Tujuan Perikatan)
f. Sighat
al-‘Aqd
Maka, kegiatan usaha pada perbankan syari’ah harus
berlandaskan rukun dan syarat yang telah disebutkan di atas, meskipun pada
dasarnya kegiatan usaha pada perbankan syari’ah adalah tunduk pada
Undang-Undang No.7 Tahun 1992, Undang-Undang No.10 Tahun 1998, ataupun pada
Undang-Undang No.21 Tahun 2008.
Dalam kegiatan Wadhi’ah[29] Perbankan Syari’ah menggunakan
akad Wadhi’ah Yad Dhamanah[30] yang mana hasil keuntungan dari pengelolaan dana
tersebut adalah milik bank, namun kerugian yang dialami harus ditanggung oleh
bank, karena nasabah memperoleh jaminan perlindungan atas dananya.[31] Dasar
hukum akad Wadhi’ah di dalam hukum islam terdapat dalam QS: al-Baqarah: 283 dan
Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani bahwa:”Dari Ibnu Umar berkata bahwasannya
Rasulullah SAW. Telah bersabda “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang
tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci”. Dan akad Wadhi’ah Yad
Dhamanah ini diaplikasikan dalam tabungan dan giro.
B.1 WADI’AH
DHAMANAH DAN QARDH
Pada sub pembahasan ini akan diulas tentang wadi’ah dan
qaradh.
1. Wadi’ah
a. Pengertian
Wadi`ah
Menurut bahasa adalah berasal dari akar kata Wada`a yang
berarti meninggalkan atau titip. Sesuatu
yang dititipkan baik harta, uang maupun pesan atau amanah. Jadi wadi`ah adalah
titipan atau simpanan. Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah
titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki[32].
Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang atau uang antara
pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan
tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang atau uang.
b. Rukun Wadi’ah
• Harta benda, yaitu biasanya harta yang
bergerak, dalam bank konvensional tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety
Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam
kotak tersebut.
• Uang,
sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.
• Dokumen
(Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
• Barang
berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga
mempunyai nilai uang)
c. Wadi`Ah Yad
Adh-Dhamanah
Wadi`Ah Yad Adh-Dhamanah adalah akad penitipan barang/uang
dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang/uang, dapat
memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan
barang/uang titipan tersebut. Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:
“Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah
meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Maka diberinya unta qurban (berumur sekitar
dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memrintahkan Abu
Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie
kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan
tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar dan berumur empat tahun.
Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu
adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R. Muslim) [33]
2. Qardh
a. Pengertian Qardh
Qardh menurut bahasa berarti pinjaman atau hutang. Sedangkan
menurut istilah syara ialah menyerahkan harta milik, baik berupa uang, emas,
atau bentuk yang lain kepada seseorang sebagai modal usaha kerja dengan harapan
akan mendapatkan keuntungan, dan keuntungan tersebut dibagi dua menurut
perjanjian ketika akad [34].
b. Rukun Qardh
• Modal pokok
• Memiliki modal
• Pekerja
• Lapangan
kerja
• Laba
• Ijab dan
qabul
3. Hubungan Wadi’ah dengan Qardh
Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir
bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk
dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya. Keduanya sama-sama akad tabarru yang jadi
perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana dalam wadi`ah
pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa adalah muqridh
(pemberi pinjaman). Jadi mirip seperti yang dilakukan Zubair bin Awwam ketika
menerima titipan uang di zaman Rasulullah SAW [35].
Dalam akad Mudharabah[36], akad ini diaplikasikan dalam
deposito dan tabungan. Dalam hal ini antara bank dan nasabah penyimpan, telah
melakukan kesepkatan di awal akad mengenai nisbah bagi hasil. Dan dana nasabah
yang disimpan di bank, akan dikelola oleh bank untuk mendapatkan keuntungan.
Dan hasil pengelolaan tersebut akan dibagi antara bank dan nasabah. Dan dasar
hukum islam dari pelaksanaan Murabahah tersebut, terdapat dalam QS: al-Baqarah:
275 dan Hadits riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa
Rasulullah SAW. bersabda, “ Sesungguhnya jual-beli itu harus dilakukan suka
sama suka.”[37]
B.2 REVENUE
SHARING DAN PRIVITE SHARING
Dalam system bagi hasil terdapat dua metode yang dapat
diterapkan yaitu;
a. Revenue
sharing
Revenue sharing adalah kegiatan bagi hasil dengan membagikan
laba kotor sebagai penerapannya.
b. Profit sharing
Profit sharing adalah kegiatan bagi hasil dengan membagikan
laba bersih sebagai penerapannya.
Dalam fikih klasik disebutkan bahwa dalam proses bagi hasil
, yang dibagikan adalah keuntungan atau
laba (pendapatan dikurangi biaya), tetapi dalam praktik perbankan syariahnya
yang dibagikan adalah Revenue (laba kotor) karena sulit untuk menemukan
kesepakatan tentang biaya-biaya yang dikeluarkan nasabah. Sepintas seakan-akan
praktik bagi hasil yang diterapkan oleh perbankan syariah ini menyalahi aturan
fikih klasik, namun hal ini dilakukan tidak lain hanya untuk memudahkan proses
bagi hasil tanpa berbelit-belit, sehingga kedua pihak (bank dan nasabah) dapat
diuntungkan dengan segera dan laba dapat dengan cepat di bagikan pada para
nasabah tanpa harus menunggu proses yang lama [38].
[1] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara republik
Indonesia Tahun 1945
[2] Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
53
[3] Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum (Jakarta:Sinar Grafika,
2008), Hlm. 100
[4]Dalam menjalankan usaha membangun perekonomian negara
dibutuhkan kerjasama dari semua elemen masyarakat dan berpegang teguh pada
etika bisnis yang baik sehingga suasana kekeluargaan dapat terbentuk dengan
baik yang pada akhirnya diharapkan mampu mengatasi kesenjangan-kesenjangan atau
konflik-konflik yang muncul akibat kegiatan perekonomian.
[5] Perekonomian yang diusahakan oleh semua pihak diharapkan
mampu membawa rakyat pada tingkatan hidup yang lebih baik. Prinsip ini menuntut
para pelaku perekonomian menjalankan usahanya untuk meningkatkan kesejahteraan
bersama dan bukan hanya meningkatkan kesejahteraan pribadi. Beberapa dampak
yang diharapkan muncul ketika kondisi perekonomian mengalami kemajuan adalah
berkurangnya angka kemiskinan, keterbelakangan, buta huruf dan atau putus
sekolah, dan pengangguran.
[6] Usaha perekonomian diharapkan memberikan keadilan yang
proporsional terhadap para pelaku atau orang-orang yang terkait di dalamnya.
[7] Usaha perekonomian diharapkan memberikan keadilan yang
proporsional terhadap para pelaku atau orang-orang yang terkait di dalamnya.
Selain meningkatkan kesejahteraan, usaha yang dibentuk oleh para pelaku
perekonomian juga diproyeksikan mampu bertahan dan berkembang ditengah
fluktuasi perekonomian nasional maupun global.
[8] Usaha perekonomian diharapkan mampu membentuk
kemandirian dari masyarakat untuk membentuk usaha-usaha baru guna meningkatkan
taraf hidup.
[9] Wirdyaningsih, “Bank dan Asuransi Islam di Indonesia”,
(Jakarta: Kencana, 2005), Hal: 58
[10] Umar Farouk, “Sejarah Hukum Perbankan Syari'ah di
Indonesia”, www.inlawnesia.net, diakses tanggal 28 februari 2010
[11] Yang dimaksud dengan tidak sejalan dalam hal ini adalah
Deregulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pada 1 Juni 1983 yang mana
pemerintah ingin membuka belenggu penetapan tingkat bunga bank yang secara
jelas disebutkan dalam UU N0.14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan Pasal
13 huruf (c), dengan tujuan dengan dibukanya belenggu penetapan tingkat bunga
dalam suatu bank, maka dapat dimungkinkan suatu bank bisa mementapkan tingkat
bunga sebesar 0% dengan kata lain tidak ada bunga dalam suatu bank, melainkan
sistem perbankan syari’ah dengan prinsip bagi hasil-lah yang digunakan.
Pengoperasionalan bank pada masa itu (masa diberlakukannya UU No.14 Tahun 1967)
yang digunakan adalah sistem kredit yang mana pengertian kridit sendiri tidak
terlepas dari penetapan jumlah bunga dalam suatu bank. Maka disinilah letak
ketidak sesuaian antara UU No.14 Tahun 1967 yang dianggap lebih berimplikasi
pada perbankan konvensional dengan Deregulasi 1 Juni yang dikeluarkan oleh
pemerintah yang dianggap lebih berimplikasi pada system perbankan syari’ah.
[12] Wirdyaningsih, Op.Cit, Hal: 60
[13] Ibid., Hal: 61
[14] Gemala Dewi, “Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan
Peraqnsurasian Syari’ah di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2007), Hal: 169
[15] Ibid., Hal: 171
[16] Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992
(1) Prinsip bagi
hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil
berdasarkan Syari'at yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil
dalam:
a. menetapkan
imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan
penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya;
b. menetapkan
imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat
dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja;
c. menetapkan
imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh bank
dengan prinsip bagi hasil.
(2) Pengertian prinsip bagi hasil dalam penyediaan dana
kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b, termasuk pula kegiatan usaha jual beli.
[17] Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992
Penetapan besarnya bagi hasil antara bank berdasarkan
prinsip bagi hasil dengan nasabahnya didasarkan pada kesepakatan yang
dituangkan dalam perjanjian tertulis antara kedua belah pihak.
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992
Dalam menyediakan dana bagi nasabah, bank berdasarkan
prinsip bagi hasil wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan.
[18] Wirdyaningsih, Op.Cit, Hal: 63
[19] Ibid., Hlm: 65
[20] Ibid., Hlm: 67
[21] yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia
sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadi’ah yang
merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional.
[22] Ibid., Hlm: 69
[23] Ibid,. Hal: 129
[24] Ibid,. Hal: 114-115
[25] Asas ridha’iyah adalah suatu asas yang dijadikan dasr
dalam suatu transaksi yang dilakukan
oleh perbankan dengan nasabah dalam bentuka apapun yang mana asas tersebut
berupa prinsip rela sama rela. Asas ini menekankan adanya kesempatan yanmg sama
bagi para pihak yang melakukan suatu transaksi. Oleh karena itu diperlukan
adanya suatu kejelasan dalam pernyataan kehendak, adanya kesesuaian antara
penawaran dan penerimaan dan adanya komunikasi antara pihak yang bertransaksi.
Misalnya, seseorang yang melakukan peminjaman uang di suatu bank dengan jumlah
Rp. 1.000.000. Dalam pengembaliannya peminjam dikenakan bunga 25% dari jumlah
uang yang dipinjam dengan jangka waktu lima bulan, padahal dalam awal
transaksi, peminjam tidak akan dikenakan bunga. Oleh karena hal tersebut
peminjam merasa dirugikan oleh pihak bank. Maka ketidak relaan dari peminjam
inilah yang tidak sesuai dengan asas ridha’iyah dalam suatu transaksi.
[26] Asas manfaat adalah asas dalam akad yang dilakukan oleh
bank dengan nasabah terkait dengan objek yang bermanfaat bagi kedua belah
pihak. Dalam hal ini bentuk transaksi yang dilakukan adalah atas dasar
pertimbangkan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup
masyarakat. Misalnya, dalam praktek jual beli seseorang tidak diperbolehkan
untuk menjual ganja atau narkotika dengan alasan benda tersebut lebih banyak
mengandung kemadharatan daripada unsure manfaatnya.
[27] Asas keadilan berarti segala bentuk transaksi yang
mengandung unsur adil tidak mengandung unsur penindasan. Misalnya, Utang
piutang dengan tanggungan barang, yang mana jika dalam jangka waktu tertentu
utang tidak dibayar, maka barang yang ditanggungkan tadi menjadi milik piutang,
padahal barang yang ditanggungkan tersebut nilainya lebih tinggi dari pada
utang yang harus dibayar. Maka dalam contoh tersebut tidkalah ada unsure
keadilan didalamnya. Dan bias dikatakan adil jika barang yang ditanggungkan
sama nilainya dengan utang yang harus dibayar.
[28] Dalam hal ini, akad yang dilakukan harus saling
menguntungkan semua pihak yang berakad. Misalnya transaksi jual beli yang
dilakukan oleh seorang penjual jeruk dengan pembelinya yang mana harga yang
ditawarkan oleh penjual dianggap sesuai oleh si pembeli. Dengan demikian maka
tidak ada rasa kerugian diantara keduanya, akan tetapi sebaliknya mereka saling
mendapat keuntungan.
[29] Wadhi’ah adalah akad penitipan barang/uang antara pihak
yang mempunyai barang/uang (muwaddi’) dengan pihak yang diberi kepercayaan
(mustawda’) dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan
uang/barang.
[30] Wadhi’ah Yad Dhamanah adalah penitipan barang/uang
dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilim barang/uang dapat
memanfaatkan barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap
kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan.
[31] Ibid,. Hal: 127
[32] Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke
Praktek. (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal 35
[33] Ibid, hal: 54
[34] http://www.koperasisyariah.com/definisi-wadiah/.
(Diakses pada 1 april 2010 M)
[35] Muhammad Firdaus, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syari’ah
Kontemporer, (Jakrta: Renaisan, 2005)
[36] Mudharabah adalah akad antara pihak pemilik modal denga
pengelola untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan.
[37] Ibid,. Hal: 130
[38] http://tiarhidayat.wordpress.com/2010/01/24/muamalat/0.
(Diakses pada 1 april 2010 M)
Posted by aga amalsyah my son at 2:18 AM
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook
Pengertian dan Jenis Bank. Pengertian Bank secara sederhana
dapat diartikan sebagai “Lembaga keuangan yang kegiatan utamanya adalah
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dana tersebut ke
masyarakat serta memberikan jasa bank lainnya”.
Sedangkan pengertian lembaga keuangan adalah setiap
perusahaan yang bergerak dibidang keuangan dimana kegiatannya baik hanya
menghimpun dana, atau hanya menyalurkan dana atau kedua-duanya menghimpun dan
menyalurkan dana.
Kemudian pengertian bank menurut Undang-Undang RI Nomor 10
Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang perbankan adalah :
“Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Jadi dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan
perbankan meliputi tiga kegiatan utama, yaitu :
1. Menghimpun dana
2. Menyalurkan dana, dan
3. Memberikan jasa bank lainnya.
Jasa-jasa perbankan lainnya antara lain sebagai berikut :
a. Jasa setoran seperti setoran air, listrik, telepon dan
uang kuliah
b. Jasa pembayaran seperti pembayaran gaji, pensiun atau
hadiah
c. Jasa pengiriman uang (trasfer)
d. Jasa penagihan (inkaso)
e. Jasa kliring (clearing)
f. Jasa penjualan mata uang asing (valas)
g. Jasa penyimpanan dokumen (Safe Deposit Box)
h. Jasa cek wisata (Traveller cheque)
i. Jasa kartu kredit (Bank Card)
k. Jasa-jasa yang ada dipasar modal seperti pejamin emisi
dan pedagang efek
l. Jasa letter of credit (L/C)
m. Jasa bank garansi dan referensi bank
n. Serta jasa bank lainnya.
Banyaknya jenis jasa yang ditawarkan sangat tergantung dari
kemampuan bank masing-masing. Semakin mampu bank tersebut, semakin banyak ragam
produk yang ditawarkan. Kemampuan bank dapat dilihat dari segi permodalan,
manajemen serta fasilitas sarana dan prasarana yang dimilikinya.
Jenis-Jenis Bank
1. Dilihat dari segi fungsinya
Dalam UU Pokok Perbankan Nomor 14 Tahun 1967 jenis perbankan
menurut fungsinya terdiri dari: Bank umum, bank pembangunan, bank tabungan,
bank pasar, bank desa, lumbung desa, bank pegawai, dan bank jenis lainnya.
Kemudian menurut UUperbankan Nomor 7 Tahun 1992 dan ditegaskan lagi dengan
keluarnya UU RI Nomor 10 Tahun1998, maka jenis perbankan terdiri dari dua jenis
bank yaitu:
a. Bank umum (menurut UU Nomor 10 Tahun 1998 adalah bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasakan
prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
penbayaran).
b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menurut UU Bomor 10 Tahun
1998 adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayran.
c. Di samping kedua jenis bank diatas dalam praktiknya masih
terdapat satu lagi jenis bank yang ada di Indonesia yaitu Bank Sentral. Fungsi
bank sentral dipegang olen Bank Indonesia (BI). Fungsinya diatur oleh UU Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Tujuan BI seperti tertuang dalam UU RI
Nomor 23 Tahun 1999 bab 111 pasal 7 adalah mencapai dan memelihara kestabilan
rupiah. Dengan kestabilan nilai rupiah, akan sangat banyak manfaat akan
diperoleh terutama untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Agar kestabilan nilai rupiah dapat tercapai
dan terpelihara, maka Bank Indonesia memiliki tugas antara lain :
• Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,
• Mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran,
• Mengatur dan mengawasi bank.
2. Di lihat dari segi kepemilikannya
Maksudnya siapa saja yang
memilki bank tersebut kepemilikannya dapat dilihat dari akta pendirian
dan penguasaan saham yang dimilki bank yang bersangkutan. Jenis bank dilihat
dari segi kepemilikan adalah bank milik pemerintah, bank milik swasta nasional,
bank milik asing, bank milik campuran.
3. Di lihat dari segi status
Kedudukan atau status ini menunjukkan ukuran kemampuan bank
dalam melayani masyarakat baik dari segi jumlah produk, modal maupun kualitas
pelayanannya. Tapi ini memerlukan penilaian dengan criteria tertentu. Dan
biasanya khusus untuk bank umum. Dalam prakteknya jenis bank dilihat dari
status dibagi dua macam, yaitu bank devisa
dan bank non devisa.
4. Di lihat dari segi cara menentukan harga.
Bagi bank yang berdasarkan prinsip konvensional, keuntungan
utama diperoleh dari selisih bunga simpanan yang diberikan kepada penyimpan
atau kredit yang disalurkan. Keuntungan dari selisih bunga tersebut di kenal
dengan istilah spread based. Jika suatu bank mengalami suatu kerugian dari
selisih bunga, dimana suku bunga simpanan lebih besar dari suku bunga kredit,
istilah ini dikenal dengan nama negative spread.dan system pengenaan biaya
dikenal dengan istilah fee based.
Bagi bank syariah keuntungan bukan diperoleh dari bunga tapi
dengan bagi hasil yang disesuaikan dengan prinsip syariah yang berdasarkan
hukum islam, sebagai berikut :
a. Mudharabah yaitu pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil.
b. Musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal
c. Murabahah yaitu prinsip jual beli barang dengan
memperoleh keuntungan.
d. Ijarah yaitu pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip
sewa murni tanpa pilihan.
e. Ijarah wa iqtina yaitu pilihan pemindahan kepemilikan
atas barang yang di sewa dari pihak bank oleh pihak lain.
Anda Baru Saja Mengcopy Artikel ini, Sertakan Sumber
Berikut:
http://menarailmuku.blogspot.com/2013/01/pengertian-dan-jenis-bank.html#ixzz2PkNdwYU8
Perbandingan Antara Bank Syariah Dan Bank Konvensional
Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional
disajikan dalam tabel berikut.[9]
Bank Syariah Bank
Konvesional
1. Melakukan
investasi-investasi yang halal saja. 1. Investasi yang halal dan haram.
2. Berdasarkan
prinsip bagi hasil
• Besarnya
disepakati pada waktu akad dengan berpedoman kepada kemungkinan untung rugi.
• Besar rasio
didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
• Rasio tidak
berubah selama akad masih berlaku
• Kerugian
ditanggung bersama
• Jumlah
pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan
• Eksistensi
tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil. 2. Memakai perangkat bunga
• Besarnya
disepakati pada waktu akad dengan asumsi akan selalu untung
• Besarny
presentase didasarkan pada jumlah modal yang dipinjamkan
• Bunga dapat
mengambang dan besarnya naik turun
• Pembayaran
bunga besarnya tetap tanpa pertimbangan untung rugi
• Jumlah bunga
tidak meningkat sekalipun keuntungan meningkat
• Eksistensi
bunga diragukan
3. Berorientasi
pada keuntungan (profit oriented) dan kemakmuran dan kebahagian dunia akhirat 3.
Profit oriented
4. Hubungan dengan
nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan. 4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk
hubungan kreditur-debitur.
5. Penghimpunan dan
penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah
5. Tidak terdapat dewan sejenis
Keunggulan operasional bank syariah
Kegiatan usaha dilakukan secara profesional, namun tetap
realistis, seraya mengakui keterbatasan manusia yang tidak selalu dapat
memperoleh hasil sebagaimana yang diinginkan.
• Sama
halnya dengan bank konvensional, prinsip prudential maupun profesionalitas juga
diterapkan dalam perbankan syari’ah.
• Bank
syari’ah tidak memastikan besaran return dalam menjalankan usahanya, dan
karenanya tidak mengenal “bunga” sebagai parameter balas jasa finansial.
• Dalam
al-Qur’an dijelaskan bahwa “....... Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui
(dengan pasti) apa yang diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat
mengetahui di bumi mana ia akan mati.......”. Q.S Luqman (31): 34
Bagi hasil dalam perbankan syari’ah dilakukan dengan cara
menetapkan porsi pembagian keuntungan (nisbah), baik antar bank dengan nasabah
pemilik dana (liabilities) maupun dengan nasabah pengguna dana (assets).
Sedangkan angka nominal yang akan diperoleh oleh para pihak akan sangat
tergantung pada realisasi hasil usaha.
Berbeda dengan bank konvensional, pendekatan usaha yang
dilakukan perbankan syari’ah adalah pada sisi assets terlebih dahulu, baru
kemudian sisi liabilities. Artinya, tingkat produktivitas assets akan sangan
menentukan return bagi para pemilik dana yang pada gilirannya mempengaruhi
pertumbuhan sisi liabilities.
Bank syari’ah tidak akan pernah mengalami negative spread.
Kerugian hanya akan terjadi bila pendapatan dari transaksi bagi hasil dan
jual-beli maupun pendapatan lainnya, lebih kecil dibandingkan dengan biaya
operasional bank.
Kendala bank syariah
Pertama, ketersediaan produk dan standarisasi produk
perbankan syariah. Hal ini dikarenakan selama ini masih banyak bank syariah
yang belum menjalankan bisnisnya sesuai prinsip syariah. Standardisasi ini
diperlukan dengan alasan industri perbankan syariah memiliki perbedaan dengan
bank konvensional. Apalagi, produk bank syariah tidak hanya diperuntukkan bagi
nasabah muslim, melainkan juga nasabah nonmuslim.
Kedua, tingkat pemahaman (awareness) produk bank syariah.
Hingga saat ini, sangat sedikit masyarakat yang tahu tentang produk-produk
perbankan syariah dan istilah-istilah di perbankan syariah. "Hanya sekitar
30 persen dari sumber daya yang direkrut mengetahui istilah perbankan syariah
serta tingkat awareness-nya," tambahnya.
Selain itu, masalah ketiga industri perbankan syariah adalah
sumber daya manusia (SDM). Masalah yang terjadi adalah pihak perbankan
kesulitan untuk mencari SDM perbankan syariah yang berkompeten dan mumpuni.
"Kami justru banyak mengambil SDM untuk perbankan syariah dari perbankan
konvensional dan SDM-SDM yang potensial. Sangat sedikit SDM yang diambil atau
lulusan perguruan tinggi syariah," katanya.
Menurut Achmad kecenderungan mengambil SDM dari luar
perguruan tinggi syariah karena SDM di perbankan syariah biasanya justru mudah
diberikan pengetahuan tentang perbankan syariah.
Dari sisi karir, Achmad juga mengiming-imingi kemudahan
untuk bersaing dibandingkan dengan karir di perbankan konvensional.
"Rata-rata motivasi mereka bekerja adalah mencari karir dan pendapatan.
Secara karir, SDM perbankan syariah tidak kalah dengan perbankan syariah,
karena orangnya minim sehingga mudah untuk naik jenjang karir. Beda dengan
perbankan konvensional yang sudah jenuh," jelasnya.
Sekadar catatan, Bank Indonesia memproyeksi industri
perbankan syariah bisa memiliki pangsa pasar sebesar 15 persen pada 10 tahun
mendatang (atau sekitar tahun 2022) apabila bisa mengalami pertumbuhan yang
stabil seperti beberapa tahun terakhir.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah yang saat
ini menjadi anggota Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan industri perbankan
syariah mengalami pertumbuhan dengan rerata 40,5 persen per tahun, dalam
setengah dasawarsa terakhir. Pertumbuhan tersebut dua kali lebih cepat
dibandingkan dengan perbankan konvensional sehingga pangsa pasarnya terus
meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Namun saat ini pangsa pasarnya
(berdasarkan aset) masih sekitar 4 persen.
Dari beberapa cara penyusunan data, penulis mempunyai
beberapa yang perlu diperhatikan dari kendala-kendala perkembangan Bank
Syariah, antara lain :
1.
Permodalan
Permasalahan pokok yang senantiasa dihadapi dalam pendirian
suatu usaha adalah permodalan. Setiap ide ataupun rencana untuk mendirikan Bank
Syari’ah sering tidak dapat terwujud sebagai akibat tidak adanya modal yang
cukup untuk pendirian Bank Syari’ah tersebut, walaupun dari sisi niat ataupun
“ghiroh” para pendiri relatif sangat kuat.
2. Problem
Hukum
Kendala hukum yang dialami perbankan syariah di Indonesia ialah,
Pengadilan Negeri tidak menggunakan syari’ah sebagai landasan hukum bagi
penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan Agama telah dibatasi UU No.
7 Tahun 1989. Institusi ini hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara-perkara
yang menyangkut perkawinan, warisan, waqaf, hibah, dan sedekah. Pengadilan
Agama tidak dapat memeriksa perkara-perkara di luar kelima bidang tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas, kepentingan untuk membentuk lembaga
permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa
perdata di antara bank-bank Syari’ah dengan para nasabah sudah sangat mendesak,
maka didirikan suatu lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan
prinsip syari’ah.
3.
Rendahnya Sosialisasi Perbankan Syari’ah
Isu sentral yang sering kita dengar adalah bahwa pemahaman
masyarakat mengenai sistem, prinsip pelayanan dan produk perbankan yang
berdasarkan syari’ah Islam sebagian besar masih kurang tepat. Hal demikian
bukan hanya terdapat pada masyarakat awam, tetapi juga terjadi pada diri Ulama,
Kyai dan Para tokoh masyarakat lainnya. Meskipun sistem ekonomi Islam telah
jelas dan mudah dipahami, yaitu melarang menggandakan uang secara tidak
produktif dan konsentrasi kekayaan pada satu pihak dan secara tidak adil. Namun
secara praktis bentuk produk dan pelayanan jasa, prinsip-prinsip dasar hubungan
antara bank dengan nasabah, serta cara-cara berusaha yang halal dalam bank
Syari’ah masih terasa awam dan belum dipahami secara benar (Bank Indonesia,
Oktober 2001, pp. 6).
Kesan umum yang ditangkap oleh masyarakat tentang bank
Syari’ah: 1) bank Syari’ah identik dengan bank dengan sistem bagi hasil, 2)
Bank Syari’ah adalah bank yang Islami, sebagian masyarakat ada yang menyatakan
bahwa bank Syari’ah secara eksklusif hanya khusus untuk umat Islam.
Menurut penulis bahwa kegiatan sosialisasi perbankan
Syari’ah amat diperlukan dalam rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan
pemahaman masyarakat mengenai perbankan Syari’ah. Hal ini dapat dilakukan
secara terus-menerus dengan cara tatap muka dengan para bankir, alim ulama,
pemuka masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum. Di masa
mendatang bentuk kegiatan sosialisasi diharapkan dapat lebih beragam dengan
menggunakan berbagai media massa dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang
memiliki akses kepada masyarakat luas.
4.
Kendala-kendala Operasional
Kurangnya SDM dan Keahlian: kendala di bidang sumber daya
manusia dalam pengembangan perbankan Syari’ah antara lain disebabkan oleh
karena sistem perbankan Syari’ah masih belum lama dikembangkan di Indonesia. Di
samping itu lembaga akademi dan pelatihan di bidang ini masih terbatas,
sehingga tenaga terdidik dan pengalaman di bidang perbankan Syari’ah baik dari
sisi bank pelaksana maupun dari bank sentral masih terasa kurang.
Dari berapa kendala yang di atas penulis akan melakukan
eksperimen terhadap kendala point 4. Yaitu kendala SDM yang kurang berkualitas
Asuransi syariah
Definisi asuransi syari'ah menurut Dewan Syariah Nasional
adalah usaha untuk saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah
orang melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru' yang memberikan
pola pengembalian untuk menghadapi resiko/bahaya tertentu melalui akad yang
sesuai dengan syariah.
Asuransi Syariah adalah sebuah sistem dimana para
partisipan/anggota/peserta mendonasikan/menghibahkan sebagian atau seluruh
kontribusi yang akan digunakan untuk membayar klaim, jika terjadi musibah yang
dialami oleh sebagian partisipan/anggota/peserta. Peranan perusahaan disini hanya
sebatas pengelolaan operasional perusahaan asuransi serta investasi dari
dana-dana/kontribusi yang diterima/dilimpahkan kepada perusahaan.
Asuransi syari'ah disebut juga dengan asuransi ta'awun yang
artinya tolong menolong atau saling membantu . Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa Asuransi ta'awun prinsip dasarnya adalah dasar syariat yang saling
toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan
bencana yang dialami peserta. Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam
surat Al Maidah ayat 2, yang artinya :
"Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan
ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan"
Perbedaan
Perbedaan tersebut adalah:
1. Asuransi
syari'ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi produk
yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini
tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
2. Akad yang
dilaksanakan pada asuransi syari'ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan
asuransi konvensional berdasarkan jual beli
3. Investasi
dana pada asuransi syari'ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada
asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan
investasinya
4. Kepemilikan
dana pada asuransi syari'ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai
pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang
terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan
bebas menentukan alokasi investasinya.
5. Dalam
mekanismenya, asuransi syari'ah tidak mengenal dana hangus seperti yang
terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat
melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing
period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana
kecil yang telah diniatkan untuk tabarru'.
6. Pembayaran
klaim pada asuransi syari'ah diambil dari dana tabarru' (dana kebajikan)
seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana
yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi
musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari
rekening dana perusahaan.
7. Pembagian
keuntungan pada asuransi syari'ah dibagi antara perusahaan dengan peserta
sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada
asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.
1. Dasar Hukum Islam terkait Asuransi Syariah
1. Surat
Yusuf :43-49 “Allah menggambarkan contoh usaha manusia membentuk sistem
proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di masa depan.
2. Surat
Al-Baqarah : 188 Firman ALLAH SWT “…dan
janganlah kalian memakan harta di antara kamu sekalian dengan jalan yang
bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang dengan
maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa,
padahal kamu tahu (al:Baqarah:188)
3. Al Hasyr:
18 Artinya :”Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Alloh dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok
(masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha
Mengetahui apa yang engkau kerjakan”.
2. Prinsip Asuransi Syariah
1. Dibangun
atas dasar kerjasama (taawun).
2. Asuransi
syariat tidak bersifat mu’awadhoh, tetapi tabarru’ atau mudhorobah.
3. Sumbangan
(tabarru’) sama dengan hibah (pemberian) oleh karena itu haram hukumnya ditarik
kembali. Kalau terjadi peritiwa, maka diselesaikan menurut syariat.
4. Setiap
anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah ditentukan harus
disertai dengan niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwah.
5. Tidak
dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya dengan tujuan supaya ia
mendapat imbalan yang berlipat bila terkena suatu musibah. Akan tetapi ia
diberi uang jamaah sebagai ganti atas kerugian itu menurut ijin yang diberikan
oleh jamaah.
6. Apabila
uang itu akan dikembangkan maka harus dijalankan menurut aturan syar’i.
Perjanjian yang digunakan merupakan akad takafuli dan bukan
akad tadabuli, bersifat tolong menolong (ta’awun) dengan menggunakan prinsip
dasar tabarru’ dan mudharabah serta tidak mengandung unsur Riba (bunga uang),
Maisir (Judi), dan Gharar (untung-untungan) yang dilarang dalam akad-akad
keuangan Islami. Konsep asuransi syariah adalah konsep tolong menolong dalam
kebaikan dan ketakwaan sebagaimana telah digariskan dalam QS. Al-Maidah : 2
yang artinya dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa. Ini berarti
dalam asuransi syariah semua peserta merupakan satu keluarga besar akan saling
melindungi dan secara bersama-sama akan menanggung risiko keuangan dari musibah
yang mungkin terjadi. Konsep asuransi syariah ini dilakukan melalui mekanisme
perjanjian (akad). Asuransi syariah adalah usaha kerjasama saling melindungi
dan tolong menolong diantara sejumlah orang dalam menghadapi terjadinya musibah
atau bencana melalui perjanjian yang disepakati bersama. Perjanjian syariah
yang digunakan dalam asuransi syariah bersifat takafuli dan menggunakan prinsip
dasar tabarru’ dan mudharabah.
Perjanjian bersifat ta’awun dan merupakan akad takafuli
dengan prinsip mudharabah dan di dalamnya sudah mencakup tabarru’, ini
mengandung pengertian bahwa akad asuransi syariah adalah akad takafuli bukan
tadabuli, yaitu akad yang menggunakan prinsip tolong menolong (ta’awun) dengan
adanya dana tabarru’ dan dalam pengelolaan dana (investasi) mengunakan prinsip
mudharabah melalui instrumen investasi syariah. Akad takafuli yaitu perjanjian
sekelompok orang yang disebut partisipan yang secara timbal balik saling
menanggung atau menanggung bersama risiko diantara partisipan atas dasar saling
tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Akad asuransi syariah ini merupakan
akad takafuli yaitu akad yang menggunakan prinsip tolong menolong (ta’awun)
dengan adanya dana tabarru’ dan dalam pengelolaan dana (investasi) menggunakan
prinsip mudharabah.
Akad takafuli dalam perusahaan asuransi syariah terdiri dari
akad tabarru’ dan akad tijari, dengan menggunakan prinsip mudharabah dan
prinsip tabarru’. Akad tabarru’ untuk kepentingan sosial, bukan untuk mencari
keuntungan dan bersifat social oriented (hibah/charity), sedangkan akad tijari
untuk kepentingan komersial/bisnis, bertujuan mencari keuntungan dan bersifat
profit oriented. Akad tabarru’ terkait dengan hubungan antara sesama peserta
dengan prinsip saling tolong menolong dan saling menanggung antara satu peserta
dengan peserta lainnya (risk sharing), sedangkan akad tijari terkait dengan
hubungan antara pemegang polis dengan perusahaan, operasional dan fungsi
perusahaan asuransi. Implementasi akad tabarru’ pada asuransi syariah, yaitu
peserta memberikan kontribusi berupa dana tabarru’ yaitu sebagian dari premi
yang diikhlaskan untuk tolong menolong dan saling menanggung setiap risiko yang
ada diantara peserta (risk sharing), perusahaan asuransi bertindak sebagai
operator/administrator dalam hal pengumpulan dana peserta (pool of fund), bukan
untuk mendapatkan keuntungan tetapi untuk kemaslahatan umat (social oriented). Implementasi
akad tijari pada perusahaan asuransi syariah adalah perusahaan asuransi
berperan sebagai underwriter dan administrator, collector serta fund manager
dimana kontribusi dari peserta bukan sebagai pendapatan tetapi merupakan amanah
untuk dikelola secara syariah, perusahaan asuransi akan mendapatkan management
fee dari fungsinya sebagai administrator dan untuk memanfaatkan dana
Tabarru’/pool of hibah fund, perusahaan akan mendapatkan bagi hasil atau fee.
Pada prinsipnya akad asuransi syariah menggunakan prinsip
tabarru’ dan mudharabah, namun dalam perkembangannya secara operasional
asuransi syariah tidak hanya menggunakan akad mudharabah dan akad tabarru’
tetapi juga tidak menutup kemungkinan menggunakan akad wakalah, wakalah bil
ujrah, musyarakah, mudharabah musytarakah. Perjanjian asuransi syariah tidak
hanya menggunakan akad tabarru’ dan mudharabah tetapi juga akad-akad lainnya
sebagaimana yang terdapat dalam Fatwa DSN-MUI seperti tabarru’, mudharabah,
wakalah/wakalah bil ujrah, mudharabah musytarakah serta dalam suatu perjanjian
asuransi dapat mengandung beberapa akad. Berdasarkan produk dasar asuransi
syariah, perjanjian asuransi syariah menggunakan akad tabarru’, akad
mudharabah, dan akad wakalah bil ujrah. Mekanisme asuransi syariah berupa perjanjian
(akad) dan berlaku untuk jangka waktu tertentu, bisa short term ataupun long
term.
Mekanisme Kerja Asuransi Syari’ah
Di dalam operasional asuransi syari’ah yang sebenarnya
terjadi adalah saling bertanggung jawab, membantu dan melindungi diantara para
peserta sendiri. Perusahaan asuransi diberi kepercayaan (amanah) oleh para
peserta untuk mengelola premi, mengembangkan dengan jalan yang halal,
memberikan santunan kepada yang mengalami musibah sesuai isi fakta perjanjian
tersebut.
Adapun proses yang dilalui seputar mekanisme kerja asuransi
syariah dapat diuraikan:
1. Underwriting
Underwriting adalah proses penafsiran jangka hidup seorang
calon peserta yang dikaitkan dengan besarnya resiko untuk menentukan besarnya
premi. Underwriting asuransi syariah bertujuan memberikan skema pembagian
resiko yang proposional dan adil diantara para peserta yang secara relatif
homogen.
Dalam melakukan proses underwriting terdapat tiga konsep
penting yang menjadi dasar bagi perusahaan asuransi untuk menerima dan menolak
suatu penutupan resiko. Pertama, kemungkinan menderita kerugian, kondisi ini
diramalkan berdasarkan apa yang terjadi pada masa lalu. Kedua, tingkat resiko,
yaitu ketidakpastian akan kerugian pada masa yang akan datang. Ketiga, hukum
bilangan dimana makin banyak obyek yang mempunyai resiko yang sama atau hampir
sama, akan makin bertambah baik bagi perusahaan karena penyebaran risiko akan
lebih luas dan kemungkinan menderita kerugian dapat secara sistematis
diramalkan.
Pada asuransi syariah underwriting berperan:
a. Mempertimbangkan risiko yang diajukan. Proses seleksi
yang dilakukan oleh underwriting dipengaruhi oleh faktor usia, kondisi fisik
atau kesehatan, jenis pekerjaan, moral dan kebiasaan, besarnya nilai
pertanggungan, dan jenis kelamin.
b. Memutuskan meneriama atau tidak risiko-risiko tersebut.
c. Menentukan syarat, ketentuan dan lingkup ganti rugi
termasuk memastikan peserta membayar premi sesuai dengan tingkat risiko,
menetapkan besarnya jumlah pertanggungan, lamanya waktu asuransi, dan plan
sesuai dengan tingkat risiko peserta.
d. Mengenakan biaya upah (ijarah/fee) pada dana kontribusi
peserta.
e. Mengamankan profit morgin dan menjaga agar perusahaan
asuransi tidak rugi.
f. Menjaga kestabilan dana yang terhimpun agar perusahaan
dapat berkembang.
g. Menghindari anti seleksi.
h. Underwriting juga harus memperhatikan pasar kompetetif
yang ada dalam ketentuan tarif, penyebaran resiko dan volume, dan hasil
survei.[3]
Beberapa hal yang patut menjadi perhatian para underwriter
pada asuransi umum, sebelum mengambil keputusan untuk mengaksep atau tidak
suatu prospek adalah sebagai berikut:
a. Kompetisi
Disisni dituntut kematangan seorang underwriter. Underwriter
yang baik adalah yang adil.
b. Penyebaran resiko dan volume.
c. Survei
Survei akan memungkinkan underwriter memperoleh setiap
detail kemungkinan mengenai resiko kondisi fisik dan juga kesempatan
mengamankan informasi mengenai keadaan moral pemohon. Laporan survei meliputi
sejumlah ciri-ciri berikut:
1) Deskripsi utuh terhadap resiko.
2) Penilaian tingkat resiko.[4]
3) Pengukuran kemungkinan kerugian maksimal.
Calon peserta harus mengisi formulir permohonan secara
lengkap yang intinya antara lain sebagai berikut:
a. Uraian bisnis secara rinci.
b. Perubahan bisnis yang dilakukan belakangan ini dan kemungkinan
pengembangannya selama masa keikutsertaannya asuransi syariah.
c. Catatan perkara yang telah dialami.[5]
2. Polis
Polis asuransi adalah surat perjanjian antara pihak yang
menjadi peserta asuransi dengan perusahaan asuransi. Polis asuransi merupakan bukti
auntetik berupa akta mengenai adanya perjanjian asuransi. Unsur-unsur yang
harus ada dalam polis adalah:
a. Deklarasi, memuat data yang berkaitan dengan peserta
seperti nama, alamat, jenis dan lokasi objek asuransi, tanggal dan jangka waktu
penutupan, perhitungan dan besarnya premi serta informasi lain yang diperlukan.
b. Perjanjian asuransi, memuat pernyataan perusahaan
asuransi menyatakan kesanggupannya mengganti kerugian atas objek asuransi
apabila terjadi kerusakan.
c. Pernyataan polis, memuat kondisi objek, batas waktu
pembayaran premi, permintaan pembatalan polis, prosedur pengajuan klaim,
asuransi ganda, subrogasi.
d. Pengecualian, memuat penyebutan dengan jelas musibah apa
saja yang tidak ditutup atau diluar penutupan asuransi.
e. Kondisi pertanggungan, memuat kondisi objek yang
diasuransikan.
f. Polis ditandatangani oleh perusahaan asuransi.
Dalam asuransi Islam, untuk menghindari unsur-unsur yang
diharamkan di atas kontrak asuransi, maka diberikan beberapa pilihan kontrak
alternatif dalam polis asuransi tersebut. Sebagai ilustrasi:
a. Polis dengan akad Mudhorobah atau mudhobbah musyarakah.
Pada akad Mudhorobah peserta asuransi menyediakan modal untuk dikelola oleh
operator asuransi. Sedangkan Mudhorobah musyarakah perusahaan asuransi sebagai
Mudhorib menyertkan modal atau dananya dalam investasi bersama dana peserta.
Dalam kontrak tercantum persetujuan kontribusi yang dijadikan dana asuransi
syariah dan pihak operator berhak mengelola dan mengivestasikan dana asuransi
untuk kepentingan perusahaan sesuai dengan prinsip Mudhorobah. Peserta
menyetujui kontribusinya dijadikan tabarru’ dan digunakan untuk membantu
peserta lain yan tertimpa musibah dalam bentuk hibah.
b. Wakalah bil ujrah, yaitu pemberian kuasa dari peserta
kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan pemberian ujrah
(fee). Persetujuan kontribusi yang dimasukkan dapat dinvestasikan dan dikelola
sesuai dengan prinsip syariah, persetujuan pembayaran klaim/manfaat asuransi,
provisi dan cadangan sesuai pedoman dan kebijakan otoritas. Persetujuan
membayar biaya wakalah bil ujrah.
3. Premi (Kontribusi)
Premi asuransi bagi peserta secara umum bermanfaat untuk
menentukan besar tabungan peserta asuransi, mendapatkan santunan kebajikan atau
dana klaim terhadap suatu kejadian yang mengakibatkan terjadinya klaim,
menambahkan investasi pada masa yang akan datang. Sedangkan bagi perusahaan
premi berguna untuk menambah investasi pada suatu usaha untuk dikelola. Premi
yang dikumpulkan dari peserta paling tidak harus cukup untuk menutupi tiga hal,
yaitu klaim resiko yang dijamin, biaya akuisisi, dan biaya pengelolaan
operasional perusahaan.
Premi dalam asuransi syariah umumnya dibagi beberapa bagian,
yaitu:
1) Premi tabungan, yaitu bagian premi yang merupakan dana
tabungan pemegang polis yang dikelola oleh perusahaan dimana pemiliknya akan
mendapatkan hak sesuai dengan kesepakatan dari pendapatan investasi bersih.
Premi tabungan dan hak bagi hasil investasi akan diberikan kepada peserta bila
yang bersangkutan dinyatakan berhenti sebagai peserta.
2) Premi tabarru’, yaitu sejumlah dana yang dihibahkan oleh
pemegang polis dan digunakan untuk tolong menolong dan menaggulangi musibah
kematian yang akan disantunkan kepada ahli waris bila peserta meninggal dunia
sebelum masa asuransi berakhir.
3) Premi biaya adalah sejumlah dana yang dibayarkan oleh
peserta kepada perusahaan yang digunakan untuk membiayai operasional perusahaan
dalam rangka pengelolaan dana asuransi.
Penetapan besarnya tarif premi tidak ditentukan oleh
pemerintah, karena diserahkan pada mekanisme pasar yang berlaku. Namun pada
dasarnya tarif premi menurut aturan pemerintah harus memenuhi unsur berikut:
Penetapan tarif premi asuransi kerugian, perhitungan jumlah
premi yang akan mempengaruhi dana klaim tergantung pada beberapa hal, antara
lain:
1) Penetapan tarif premi harus dilakukan dengan
memperhitungkan:
a. Premi murni dihitung berdasarkan profil kerugian untuk
jenis asuransi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 5 tahun terakhir.
b. Biaya perolehan, termasuk komisi agen.
c. Biaya administrasi dan biaya umum lainnya.
2) Tarif premi harus ditetapkan pada tingkat yang mencukupi,
tidak melebihi dan tidak ditetapkan secara diskriminatif. Demikian pula tidak
boleh terlalu berlebihan sehingga tidak sebanding dengan manfaat yang
dijanjikan.
4. Pengeolaan dana asuransi (Premi)
Pengelolaan dana asuransi (premi) dapat dilakukan dengan
akad mudharabah, mudharabah musyarakah, atau wakalah bil ujrah. Pada akad
mudhorobah, keuntungan perusahaan asuransi syariah diperoleh dari bagian
keuntungan dana dari investasi (sistem bagi hasil). Para peserta asuransi
syariah berkedudukan sebagai pemilik modal dan perusahaan asuransi syariah
berfungsi sebagai pihak yang menjalankan modal. Keuntungan yang diperoleh dari
pengembangan dana itu dibagi antara peserta dan perusahaan sesuai ketentuan
yang telah disepakati.
Pada akad mudharobah musyarakah, perusahaan asuransi
bertindak sebagai mudharib yang menyertakan modal atau dananya dalam investai
bersama dana para peserta. Perusahaan dan peserta berhak memperoleh bagi hasil
dari keuntungan yang diperoleh dari investasi. Sedangkan pada akad wakalah bil
ujrah, perusahaan berhak mendapatkan fee sesuai dengan kesepakatan. Para
peserta memberikan kuasa kepada perusahaan untuk mengelola dananya dalam hal:
kegiatan administrasi, pengelolaan dana, pembayaran klaim, underwriting,
pemasaran, dan investasi.[6]
Dalam mendeskripsikan tentang cara atau mekanisme kerja
asuransi syariah ini, akan dibagi kepada dua pembahasan pokok sesuai dengan
pembagian asuransi syariah itu sendiri, yakni asuransi syariah keluarga dan
asuransi umum. Pembagian ini sangat penting dilakukan mengingat mekanisme kerja
dari kedua syariah itu memiliki sedikit perbedaan, yakni dalam pengelolaan
premi yang disetor kepada perusahaan asuransi syariah. Perbedaan itu muncul
disebabkan sesuatu yang diasuransikannya berbeda; kalau asuransi umum
(kerugian) yang diasuransikan itu harta atau hak milik peserta asuransi,
sedangkan diasuransi keluarga (jiwa) yang diasuransikan adalah diri peserta
asuransi itu sendiri.
Selain kedua topik diatas, dalam bagian ini akan dibahas
pula tentang pembayaran klaim oleh perusahaan asuransi kepada peserta asuransi
yang tertimpa musibah atau bencana.
1. Mekanisme kerja asuransi keluarga
Mekanisme asuransi keluarga ini diawali oleh terjadinya akad
atau transaksi antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi. Akad
tersebut dilakukan sesuai dengan produk asuransi yang akan dimanfaatkan oleh
peserta asuransi. Untuk satu produk asuransi akan dilakukan satu akad. Pada
saat akad berlangsung peserta asuransi harus sudah menentukan produk asuransi
yang akan diambil, seperti Asuransi Berjangka (10, 15, atau 20 tahun), Asuransi
dana Investasi, Asuransi Kesehatan, Asuransi Kecelakaan Diri. Setelah akad
berlangsung, maka dalam asuransi keluarga diatur menurut sebagai berikut:
a. Peserta asuransi syariah bebas memilih salah satu jenis
syariah keluarga yang ada dengan ketentuan umur peserta antara 18 sampai dengan
50 tahun dengan masa pembayaran klaim berakhir sebelum mencapai umur 60 tahun.
b. Perusahaan asuransi syariah dan peserta asuransi syariah
mengadakan perjanjian mudhorobah (bagi hasil), yang sekaligus dinyatakan pula
hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak.
c. Setiap peserta asuransi syariah menyerahkan premi
asuransi yang dapat dilakukan secara bulanan, kuartalan, setengah tahunan, atau
tahunan. Premi yang diserahkan dengan kemampuan peserta, tetapi tidak boleh
kurang dari jumlah minimal yang ditetapkan perusahaan asuransi sebagai berikut:
1) Setiap premi yang dibayarkan peserta dibagi kedalam dua
rekening, yaitu rekening peserta dan rekening derma atau tabarru’. Presentase
kedua rekening itu ditentukan sesuai kelompok umur peserta dan jangka waktu
pertanggung.
2) Uang angsuran (premi) oleh perusahaan asuransi akan akan
disatukan ke dalam “Kumpulan Dana Peserta”, yang selanjutnya diinvestasikan
dalam pembiayaan-pembiayaan proyek yang dibenarkan syariah.
3) Keuntungan yang diperoleh dari investasi itu akan dibagi
dengan peserta sesuai dengan perjanjian mudhorobah yang telah disepakati
sebelumnya.
4) Keuntungan bagian peserta akan dikreditkan ke dalam
rekening peserta dan rekening derma atau tabarru’ secara proposional.
Mekanisme kerja di asuransi Syariah Keluarga ini secara
sederhana dapat dibuatkan gambar sebagaimana terlihat dibawah ini.
Bank Syariah
|
Bank Konvesional
|
1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja.
|
1.
Investasi yang halal
dan haram.
|
2. Berdasarkan prinsip bagi hasil
· Besarnya disepakati pada waktu akad dengan berpedoman kepada
kemungkinan untung rugi.
· Besar rasio didasarkan pada jumlah keuntungan yang
diperoleh
· Rasio tidak berubah selama akad masih berlaku
· Kerugian ditanggung bersama
· Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan
keuntungan
· Eksistensi tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
|
2.
Memakai perangkat
bunga
· Besarnya disepakati pada waktu akad dengan asumsi akan
selalu untung
· Besarny presentase didasarkan pada jumlah modal yang
dipinjamkan
· Bunga dapat mengambang dan besarnya naik turun
· Pembayaran bunga besarnya tetap tanpa pertimbangan untung
rugi
· Jumlah bunga tidak meningkat sekalipun keuntungan
meningkat
· Eksistensi bunga diragukan
|
3. Berorientasi pada keuntungan (profit
oriented) dan kemakmuran dan kebahagian dunia akhirat
|
3.
Profit oriented
|
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan
kemitraan.
|
4.
Hubungan dengan
nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur.
|
5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai
dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah
|
5.
Tidak terdapat dewan
sejenis
|